Mentari
beranjak ke arah barat, sholat ashar kutunaikan sudah. Kuambil segelas
air dari dispenser yang ada di ruang makan. Kulihat jam di dinding,
tepat setengah empat. Tak lama setelah gelas kutaruh kembali ke meja
makan terdengar suara dari luar. “Jo! Joan! Main bola yuk!”. Dengan
sedikit berlari aku menuju pintu depan rumah. Ah, teman-teman kampung.
“Tunggu sebentar, aku ganti sarung dulu.”, jawabku.
Tak
lebih dari semenit aku keluar dengan seragam kebesaranku, kaos
Persebaya Surabaya dan celana training warna pink. Perduli amat, tinggal
ini yang ada di lemari pakaianku. Maklum, belum sempat nyuci baju.
Kukeluarkan sepeda kesayanganku, berpamitan dengan Ibu yang sedang masak
di dapur dan plas…
Hanya
kurang dari lima menit, kami sudah sampai di kompleks kampus B Unair,
tempat kuliah kakakku. Memang, kompleks ini menjadi tempat favorit,
kalau tidak bisa dikatakan sebagai satu-satunya tempat, bagi kami
melewatkan hampir tiap sore dengan bermain bola.
Satu-persatu
lapangan kami susuri. Parkiran fakultas ekonomi sudah ditempati, hukum
sudah, psikologi sudah, sastra sudah, fisip sudah, rektorat sudah. Nah
ini dia, lapangan parkir sebelah Masjid An-Nur, masjid kampus, masih
kosong. “Di sini saja ya.”, Diaz coba menawarkan pada kami.
Tak
lama kemudian, berbekal beberapa sandal dan sepeda yang diberdirikan
terbalik, sebuah lapangan bola dadakan tercipta sudah. Lima orang lawan
lima orang. Untuk kali ini aku kebagian jatah sebagai kiper. Padahal
ingin sekali hari ini aku menjadi penyerang, sudah seminggu ini aku
tidak mencetak gol sama sekali. Tapi apa boleh buat.
Sebuah
tendangan keras lurus mengarah ke gawangku. “Plak!”, suara keras bola
plastik berbenturan dengan telapak tanganku. Bola mampu kutepis ke
samping kiri gawang. “Nggak gol ye…, tendangan cemen”, ejekku. Seketika
itu pula Amad, sang penendang bola, mendatangiku dan menjitak kepalaku
sambil berkata, “Ngece…”. Kami pun tertawa.
“Plak!”,
untuk kali ini bukan tanganku yang mampu menepis bola, tetapi mukaku
satu-satunya menjadi korban keganasan tendangan keras Diaz. Panas
rasanya. Seketika itu pula mukaku menjadi merah padam. Teman-temanpun
mengerubungiku, menyaksikan tubuhku yang masih terkapar di beton
parkiran. Untuk beberapa saat memang mataku berkunang-kunang, kepalaku
terasa pusing. Kurang lebih setengah menit kemudian, aku terbangun.
Sambil meringis menahan panas mukaku kucari Diaz. “Anarkhis!”, hanya itu
yang aku ucapkan pada Diaz.
“Panas ya, mas…”, ucap Amad.
“Whoa…, balas dendam ceritanya. Ngece…”
“Makanya jangan sok jagoan.”, timpal Diaz.
“Afwan deh. Tadi khilaf.”
“Ya sudah. Kita istirahat dulu sebentar.”, Amad coba menawarkan.
Kita
pun beristirahat sejenak, kurang lebih selama lima menit. Sampai suatu
ketika, beberapa mobil terlihat berjalan ke arah kami. Ups! Hari apa
ini. Ya benar, sekarang hari kamis. Memang seperti yang pernah kakakku
katakan, tiap kamis sore minggu pertama ada pengajian ibu-ibu dan remaja
putri di masjid kampus. Kakakku Lina memang semenjak semester satu
menjadi aktivis masjid kampus.
Itu
dia, berdiri di selasar sebelah utara masjid, memakai kerudung dan baju
terusan berwarna merah muda. Sesuai dengan kulitnya yang coklat terang.
Tak heran kalau banyak laki-laki, atau lebih tepatnya mereka lebih
senang disebut dengan ikhwan, yang menyukainya. Wajahnya yang berbentuk
oval dengan dagu meruncing dan hidung yang agak mancung merupakan sebuah
kombinasi yang sangat pas. Dalam hati aku berjanji, aku tak akan
segan-segan menghadang setiap laki-laki yang berani mengganggunya.
Maklum, kami hanya dua bersaudara.
“Waduh
rek. Sore ini bakal ada pengajian, jadinya parkiran bakal dipake.
Pindah yuk.”, pintaku pada teman-teman. Sekonyong-konyong kami
membereskan lapangan dadakan kami.
Ah,
mana lagi tempat kosong. Oh ya, lapangan basket belakang fakultas
psikologi. Semoga belum dipakai para mahasiswa bermain basket.
Alhamdulillah, masih kosong. Mekanisme standar pembuatan lapangan
dadakan mulai kami laksanakan. Sandal dan sepeda yang diparkir terbalik
tersusun sudah. Pertandingan dimulai. Untuk kali ini, keinginanku untuk
jadi penyerang terpenuhi.
Hup!
Sebuah umpan terobosan yang sangat indah disodorkan oleh Ipul.
Kuteruskan dengan sebuah tendangan eksekusi khas ala Joan. Tidak begitu
keras, tetapi mengarah pada titik lemah kiper. Bola menerobos
selangkangan kaki Idham, yang kebetulan sore itu menjadi kiper lawan.
Gol! Gol pertamaku setelah dalam penantian selama satu minggu. Aku tak
mandul lagi.
Gol
itu menjadi gol terakhir dari permainan kami. Tak lama kemudian satpam
kampus mengusir kami dari lapangan itu. Nasib…, nasib…. Terpaksa kami
pindah mencari tempat lain di luar kampus. Kami putuskan, akan kami
selesaikan permainan bola sore ini di jalan depan rumah Ipul. Biar
sempit, yang penting main bola jalan terus.
Akhirnya,
gang depan rumah Ipul menjadi lapangan kami juga. “Jbrak!”, “Jbruk!”,
“Dhuang!”, menjadi suara yang sangat lazim didengar. Hingga tanpa kami
sadari sebuah motor melaju sangat kencang, menabrak sepeda yang menjadi
gawang dan kemudian menabrakku. Dhuar! Kemudian gelap…
**
Yang
aku tahu saat ini, aku sudah berada di rumah sakit. Berbaring di kasur
dengan kaki sebelah kiri yang terbalut gips. Kata kakak, kakiku sebelah
kiri patah dan harus di gips. Untuk malam ini, kakakku menemaniku di
rumah sakit. Karena ibu dan ayah harus menemani nenek yang masih shock
di rumah. Kata ayah dan ibu, aku ini cucu kesayangan nenek, karena
perawakanku mirip kakek. Kulit coklat kehitaman mengkilat-kilat, rambut
jabrik, berhidung besar dan berwajah bundar mirip bola. Sampai-sampai
nenek lebih memilih tinggal dengan kita sekeluarga. He… he…
“Kak Lina…”
“Apa Dek?”
“Adek nyesel. Gak bakalan main bola lagi.”
“Nggak usah begitu. Yang penting sekarang kamu istirahat saja. Sudah malam tuh.”
“Ibu pasti marah. Pasti deh besok-besok Adek gak boleh main lagi.”
“Sudah,
memang kamu itu sudah keturunan keranjingan bola. Nggak jauh beda
dengan Ayah. Ntar deh, Kakak bantuin ngomong ke Ibu biar Adek boleh main
bola lagi. Kalau perlu kalau sudah sembuh kakak beliin bola yang asli,
biar kalian kalau main bola nggak pakai bola plastik lagi.”
“Emang Kakak punya duit? Duit darimana?”
“Kakak
kan ngajar les dan ngaji privat. Lumayan lah…. Kakak seneng kok Adek
suka main bola. Yang penting jangan lupa sholat, ngaji dan hapalan satu
ayat tiap hari.”, Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyuman.
“Kakak besok masih ujian kan?”
“Ah nggak papa. Ini, Kakak bawa catatan kuliah.”
“Kak, bawa radio kecil Adek nggak?”
“Bawa.
Ada di tas Adek. Kakak ambilin sebentar ya…”. Kakakku beranjak dari
duduknya, menuju pojok kamar. Diambilnya radio kecil dari tasku.
“Ini Dek.”
Kunyalakan radio kecil kesayanganku. Pelan-pelan terdengar suara dari radio itu…
…
Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepakbola menjadi barang yang mahal
Milik mereka
Yang punya uang saja
Dan sementara kita di sini
Di jalan ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar