Senin, 09 Januari 2012

when i's missing

Kangen yang tak berujung menghampiri hati.
Rindu yang tak berdosa menyambangi jiwa.
Terdiam.
Aku kembali terdiam.

Pertemuan singkat tadi melegakan jiwa.
Dinginnya hati kembali menghangat melihat sosok dirimu.
Hanya obrolan singkat yang keluar dari mulutku.
Menahan hasrat ingin memeluk dirimu.

Ketika kangen.
Sampaikanlah pada malam.
Ketika rindu.
Sampaikanlah pada angin.

Malam yang setia akan menyampaikan kangen.
Angin yang tenang menyejukkan akan menyampaikan rindu.
Rindu yang kurasakan bermekaran tanpa meminta pupuk.
Rindu yang kualami tumbuh tanpa meminta aliran air.

Jemariku mengeluarkan hasrat rindu.
Kata-kata kurangkai mengalirkan hasrat rindu.
Lidahku sunyi menahan siksaan hasrat rindu.
Pikiranku penuh memuat hasrat rindu.

Aku rindu kamu.
Aku kangen kamu.
Tak ada keraguan atas itu.
Yakinlah,
seyakin cintaku yang mencintaimu . . .

Look ! Eyes Have Been Said A Love


Kamu yang sekarang memenuhi relung hatiku.
Kamu yang sekarang menghias mimpi-mimpi kelamku.
Kamu yang mewarnai kehidupanku.
Kamu yang menorehkan kenangan dikepalaku.

Langit diatas berbisik kekelaman kepadaku.
Memenuhi telinga halusku akan godaan memilikimu.
Tak sanggup menolak, namun tak bisa juga menerima.
Langit tetap setia membisikkan hal itu bahkan ketika aku berkelana di
alam mimpi.
Sungguh suatu kesetiaan yang sudah lama kunantikan.

Aku tertunduk ketika tahu hanya bisa berharap.
Aku terdiam ketika memahami bahwa cinta tak mesti memiliki.
Melepasmu tertawa bersama yang lain.
Merelakanmu mencintai yang lain.

Tampakkah dimataku ketika menatapmu, ketika berbicara padamu ?
Tampakkah cinta disetiap tawa yang coba aku hadirkan padamu?
Tatap, pahami dan resapi.
Hatiku remuk, namun demi kamu aku rela.

Cinta yang kurasakan tak sempat terungkap.
Bagai kayu yang tak sempat memohon ketika api memanjakannya.
Cinta yang kurasakan tak sempat terbalas.
Bagai tumbuhan yang tak sempat merasakan lembutnya air hujan.

Tujuh Burung Gagak

Dahulu, ada seorang laki-laki yang memiliki tujuh orang anak laki-laki, dan laki-laki tersebut belum memiliki anak perempuan yang lama diidam-idamkannya. Seriiring dengan berjalannya waktu, istrinya akhirnya melahirkan seorang anak perempuan. Laki-laki tersebut sangat gembira, tetapi anak perempuan yang baru lahir itu sangat kecil dan sering sakit-sakitan. Seorang tabib memberitahu laki-laki tersebut agar mengambil air yang ada pada suatu sumur dan memandikan anak perempuannya yang sakit-sakitan dengan air dari sumur itu agar anak tersebut memperoleh berkah dan kesehatan yang baik. Sang ayah lalu menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk mengambil air dari sumur tersebut. Enam orang anak laki-laki lainnya ingin ikut untuk mengambil air dan masing-masing anak laki-laki itu sangat ingin untuk mendapatkan air tersebut terlebih dahulu karena rasa sayangnya terhadap adik perempuan satu-satunya. Ketika mereka tiba di sumur dan semua berusaha untuk mengisi kendi yang diberikan kepada mereka, kendi tersebut jatuh ke dalam sumur. Ketujuh anak laki-laki tersebut hanya terdiam dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengambil kendi yang jatuh, dan tak satupun dari mereka berani untuk pulang kerumahnya.
Ayahnya yang menunggu di rumah akhirnya hilang kesabarannya dan berkata, "Mereka pasti lupa karena bermain-main, anak nakal!" Karena takut anak perempuannya bertambah sakit, dia lalu berteriak marah, "Saya berharap anak laki-lakiku semua berubah menjadi burung gagak." Saat kata itu keluar dari mulutnya, dia mendengar kepakan sayap yang terbang di udara, sang Ayah lalu keluar dan melihat tujuh ekor burung gagak hitam terbang menjauh. Sang Ayah menjadi sangat menyesal karena mengeluarkan kata-kata kutukan dan tidak tahu bagaimana membatalkan kutukan itu. Tetapi walaupun kehilangan tujuh orang anak laki-lakinya, sang Ayah dan Ibu masih mendapatkan penghiburan karena kesehatan anak perempuannya berangsur-angsur membaik dan akhirnya anak perempuan tersebut tumbuh menjadi gadis yang cantik.
Gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa dia mempunyai tujuh orang kakak laki-laki karena orangtuanya tidak pernah memberitahu dia, sampai suatu hari secara tidak sengaja gadis tersebut mendengar percakapan beberapa orang, "Gadis tersebut memang sangat cantik, tetapi gadis tersebut harus disalahkan karena mengakibatkan nasib buruk pada ketujuh saudaranya." Gadis tersebut menjadi sangat sedih dan bertanya kepada orangtuanya tentang ketujuh saudaranya. Akhirnya orangtuanya menceritakan semua kejadian yang menimpa ketujuh saudara gadis itu. Sang Gadis menjadi sangat sedih dan bertekad untuk mencari ketujuh saudaranya secara diam-diam. Dia tidak membawa apapun kecuali sebuah cincin kecil milik orangtuanya, sebuah roti untuk menahan lapar dan sedikit air untuk menahan haus.
Gadis tersebut berjalan terus, terus sampai ke ujung dunia. Dia menemui matahari, tetapi matahari terlalu panas, lalu dia kemudian menemui bulan, tetapi bulan terlalu dingin, lalu dia menemui bintang-bintang yang ramah kepadanya. Saat bintang fajar muncul, bintang tersebut memberikan dia sebuah tulang ayam dan berkata, "Kamu harus menggunakan tulang ini sebagai kunci untuk membuka gunung yang terbuat dari gelas, disana kamu akan dapat menemukan saudara-saudaramu.
Gadis tersebut kemudian mengambil tulang tersebut, menyimpannya dengan hati-hati di pakaiannya dan pergi ke arah gunung yang di tunjuk oleh bintang fajar. Ketika dia telah tiba di gunung tersebut, dia baru sadar bahwa tulang untuk membuka kunci gerbang gunung telah hilang. Karena dia berharap untuk menolong ketujuh saudaranya, maka sang Gadis lalu mengambil sebilah pisau, memotong jari kelinkingnya dan meletakkannya di depan pintu gerbang. Pintu tersebut kemudian terbuka dan sang Gadis dapat masuk kedalam, dimana seorang kerdil menemuinya dan bertanya kepadanya, "Anakku, apa yang kamu cari?" "Saya mencari tujuh saudaraku, tujuh burung gagak," balas sang Gadis. Orang kerdil tersebut lalu berkata, "Tuanku belum pulang ke rumah, jika kamu ingin menemuinya, silahkan masuk dan kamu boleh menunggunya di sini." Lalu orang kerdil tersebut menyiapkan makan siang pada tujuh piring kecil untuk ketujuh saudara laki-laki sang Gadis yang telah menjadi burung gagak. Karena lapar, sang Gadis mengambil dan memakan sedikit makanan yang ada pada tiap-tiap piring dan minum sedikit dari tiap-tiap gelas kecil yang ada. Tetapi pada gelas yang terakhir, dia menjatuhkan cincin milik orangtuanya yang dibawa bersamanya.
Tiba-tiba dia mendengar kepakan sayap burung di udara, dan saat itu orang kerdil itu berkata, "Sekarang tuanku sudah datang." Saat ketujuh burung gagak akan mulai makan, mereka menyadari bahwa seseorang telah memakan sedikit makanan dari piring mereka. "Siapa yang telah memakan makananku, dan meminum minumanku?" kata salah satunya. Saat burung gagak yang terakhir minum dari gelasnya, sebuah cincin masuk ke mulutnya dan ketika burung tersebut memperhatikan cincin tersebut, burung gagak tersebut berkata, "Diberkatilah kita, saudara perempuan kita yang tersayang mungkin ada disini, inilah saatnya kita bisa terbebas dari kutukan." Sang Gadis yang berdiri di belakang pintu mendengar perkataan mereka, akhirnya maju kedepan dan saat itu pula, ketujuh burung gagak berubah kembali menjadi manusia. Mereka akhirnya berpelukan dan pulang bersama ke rumah mereka dengan bahagia.

Mereka di jalan

Mentari beranjak ke arah barat, sholat ashar kutunaikan sudah. Kuambil segelas air dari dispenser yang ada di ruang makan. Kulihat jam di dinding, tepat setengah empat. Tak lama setelah gelas kutaruh kembali ke meja makan terdengar suara dari luar. “Jo! Joan! Main bola yuk!”. Dengan sedikit berlari aku menuju pintu depan rumah. Ah, teman-teman kampung. “Tunggu sebentar, aku ganti sarung dulu.”, jawabku.

Tak lebih dari semenit aku keluar dengan seragam kebesaranku, kaos Persebaya Surabaya dan celana training warna pink. Perduli amat, tinggal ini yang ada di lemari pakaianku. Maklum, belum sempat nyuci baju. Kukeluarkan sepeda kesayanganku, berpamitan dengan Ibu yang sedang masak di dapur dan plas…

Hanya kurang dari lima menit, kami sudah sampai di kompleks kampus B Unair, tempat kuliah kakakku. Memang, kompleks ini menjadi tempat favorit, kalau tidak bisa dikatakan sebagai satu-satunya tempat, bagi kami melewatkan hampir tiap sore dengan bermain bola.

Satu-persatu lapangan kami susuri. Parkiran fakultas ekonomi sudah ditempati, hukum sudah, psikologi sudah, sastra sudah, fisip sudah, rektorat sudah. Nah ini dia, lapangan parkir sebelah Masjid An-Nur, masjid kampus, masih kosong. “Di sini saja ya.”, Diaz coba menawarkan pada kami.

Tak lama kemudian, berbekal beberapa sandal dan sepeda yang diberdirikan terbalik, sebuah lapangan bola dadakan tercipta sudah. Lima orang lawan lima orang. Untuk kali ini aku kebagian jatah sebagai kiper. Padahal ingin sekali hari ini aku menjadi penyerang, sudah seminggu ini aku tidak mencetak gol sama sekali. Tapi apa boleh buat.

Sebuah tendangan keras lurus mengarah ke gawangku. “Plak!”, suara keras bola plastik berbenturan dengan telapak tanganku. Bola mampu kutepis ke samping kiri gawang. “Nggak gol ye…, tendangan cemen”, ejekku. Seketika itu pula Amad, sang penendang bola, mendatangiku dan menjitak kepalaku sambil berkata, “Ngece…”. Kami pun tertawa.

“Plak!”, untuk kali ini bukan tanganku yang mampu menepis bola, tetapi mukaku satu-satunya menjadi korban keganasan tendangan keras Diaz. Panas rasanya. Seketika itu pula mukaku menjadi merah padam. Teman-temanpun mengerubungiku, menyaksikan tubuhku yang masih terkapar di beton parkiran. Untuk beberapa saat memang mataku berkunang-kunang, kepalaku terasa pusing. Kurang lebih setengah menit kemudian, aku terbangun. Sambil meringis menahan panas mukaku kucari Diaz. “Anarkhis!”, hanya itu yang aku ucapkan pada Diaz.

“Panas ya, mas…”, ucap Amad.

“Whoa…, balas dendam ceritanya. Ngece…”

“Makanya jangan sok jagoan.”, timpal Diaz.

“Afwan deh. Tadi khilaf.”

“Ya sudah. Kita istirahat dulu sebentar.”, Amad coba menawarkan.

Kita pun beristirahat sejenak, kurang lebih selama lima menit. Sampai suatu ketika, beberapa mobil terlihat berjalan ke arah kami. Ups! Hari apa ini. Ya benar, sekarang hari kamis. Memang seperti yang pernah kakakku katakan, tiap kamis sore minggu pertama ada pengajian ibu-ibu dan remaja putri di masjid kampus. Kakakku Lina memang semenjak semester satu menjadi aktivis masjid kampus.

Itu dia, berdiri di selasar sebelah utara masjid, memakai kerudung dan baju terusan berwarna merah muda. Sesuai dengan kulitnya yang coklat terang. Tak heran kalau banyak laki-laki, atau lebih tepatnya mereka lebih senang disebut dengan ikhwan, yang menyukainya. Wajahnya yang berbentuk oval dengan dagu meruncing dan hidung yang agak mancung merupakan sebuah kombinasi yang sangat pas. Dalam hati aku berjanji, aku tak akan segan-segan menghadang setiap laki-laki yang berani mengganggunya. Maklum, kami hanya dua bersaudara.

“Waduh rek. Sore ini bakal ada pengajian, jadinya parkiran bakal dipake. Pindah yuk.”, pintaku pada teman-teman. Sekonyong-konyong kami membereskan lapangan dadakan kami.

Ah, mana lagi tempat kosong. Oh ya, lapangan basket belakang fakultas psikologi. Semoga belum dipakai para mahasiswa bermain basket. Alhamdulillah, masih kosong. Mekanisme standar pembuatan lapangan dadakan mulai kami laksanakan. Sandal dan sepeda yang diparkir terbalik tersusun sudah. Pertandingan dimulai. Untuk kali ini, keinginanku untuk jadi penyerang terpenuhi.

Hup! Sebuah umpan terobosan yang sangat indah disodorkan oleh Ipul. Kuteruskan dengan sebuah tendangan eksekusi khas ala Joan. Tidak begitu keras, tetapi mengarah pada titik lemah kiper. Bola menerobos selangkangan kaki Idham, yang kebetulan sore itu menjadi kiper lawan. Gol! Gol pertamaku setelah dalam penantian selama satu minggu. Aku tak mandul lagi.

Gol itu menjadi gol terakhir dari permainan kami. Tak lama kemudian satpam kampus mengusir kami dari lapangan itu. Nasib…, nasib…. Terpaksa kami pindah mencari tempat lain di luar kampus. Kami putuskan, akan kami selesaikan permainan bola sore ini di jalan depan rumah Ipul. Biar sempit, yang penting main bola jalan terus.

Akhirnya, gang depan rumah Ipul menjadi lapangan kami juga. “Jbrak!”, “Jbruk!”, “Dhuang!”, menjadi suara yang sangat lazim didengar. Hingga tanpa kami sadari sebuah motor melaju sangat kencang, menabrak sepeda yang menjadi gawang dan kemudian menabrakku. Dhuar! Kemudian gelap…

**

Yang aku tahu saat ini, aku sudah berada di rumah sakit. Berbaring di kasur dengan kaki sebelah kiri yang terbalut gips. Kata kakak, kakiku sebelah kiri patah dan harus di gips. Untuk malam ini, kakakku menemaniku di rumah sakit. Karena ibu dan ayah harus menemani nenek yang masih shock di rumah. Kata ayah dan ibu, aku ini cucu kesayangan nenek, karena perawakanku mirip kakek. Kulit coklat kehitaman mengkilat-kilat, rambut jabrik, berhidung besar dan berwajah bundar mirip bola. Sampai-sampai nenek lebih memilih tinggal dengan kita sekeluarga. He… he…

“Kak Lina…”

“Apa Dek?”

“Adek nyesel. Gak bakalan main bola lagi.”

“Nggak usah begitu. Yang penting sekarang kamu istirahat saja. Sudah malam tuh.”

“Ibu pasti marah. Pasti deh besok-besok Adek gak boleh main lagi.”

“Sudah, memang kamu itu sudah keturunan keranjingan bola. Nggak jauh beda dengan Ayah. Ntar deh, Kakak bantuin ngomong ke Ibu biar Adek boleh main bola lagi. Kalau perlu kalau sudah sembuh kakak beliin bola yang asli, biar kalian kalau main bola nggak pakai bola plastik lagi.”

“Emang Kakak punya duit? Duit darimana?”

“Kakak kan ngajar les dan ngaji privat. Lumayan lah…. Kakak seneng kok Adek suka main bola. Yang penting jangan lupa sholat, ngaji dan hapalan satu ayat tiap hari.”, Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyuman.

“Kakak besok masih ujian kan?”

“Ah nggak papa. Ini, Kakak bawa catatan kuliah.”

“Kak, bawa radio kecil Adek nggak?”

“Bawa. Ada di tas Adek. Kakak ambilin sebentar ya…”. Kakakku beranjak dari duduknya, menuju pojok kamar. Diambilnya radio kecil dari tasku.

“Ini Dek.”

Kunyalakan radio kecil kesayanganku. Pelan-pelan terdengar suara dari radio itu…


Anak kota tak mampu beli sepatu

Anak kota tak punya tanah lapang

Sepakbola menjadi barang yang mahal

Milik mereka

Yang punya uang saja

Dan sementara kita di sini

Di jalan ini

Catatan dari perjalanan

Jarum jam di dinding stasiun menujukkan pukul sembilan lewat. Pesan singkat yang aku kirimkan belum pula ia balas. Aku pun bingung. Kuputuskan saja untuk tetap menunggu di sini. Toh kami sudah berjanji akan bertemu di stasiun ini tepat pukul sembilan.
Tak lama kemudian, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Ternyata dari dia. Ups, baru berangkat dari kos. Wah bisa lama menunggu aku di sini. Biarlah… Aku keluarkan sebuah buku dari tasku. Sekedar mengisi waktu daripada hanya diam menunggu.
Tak terasa lima belas halaman novel tulisan Ahmad Tohari telah kubaca ketika sosok itu muncul dengan senyumnya di pintu masuk stasiun. Walau tersenyum, tetap saja masih tergurat aura kesedihan. ”Ah, siapakah laki-laki bodoh itu yang meninggalkan perempuan semanis dirimu”, tanya dalam benakku.
”Dah lama nunggu mas?”, itulah kata pertama yang meluncur dari bibirmu.
”Ya…, semenjak aku mengirim sms tadi. Kok sudah nyampe, emang kosmu dimana? Bukannya Dermaga jauh?”, jawabku.
”Semalam aku nggak tidur kos kok, Mas. Aku tidur di tempat teman. Nyari suasana baru.”
”Oh…”, hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
Kami pun akhirnya berjalan keluar ke arah jalan raya. Kami putuskan untuk segera menuju Kampus IPB. Memang hari itu dia berjanji untuk mengantarkan aku untuk mengelilingi Kampus IPB. Ya…, sekedar alasan agar aku bisa berjalan-jalan dengannya.
Dari Stasiun menuju Kampus IPB ternyata cukup jauh. Harus naik angkot sampai dua kali. Pertama naik angkot warna hijau jurusan Terminal Bubulak. Dari Terminal Bubulak naik angkot warna biru jurusan Kampus Dalam. Total perjalanan memakan waktu sekitar tiga perempat sampai satu jam dari Stasiun ke Kampus IPB.
Tak banyak yang kami bicarakan selama di angkot. Sesekali aku hanya mencoba mencuri pandang ke arahnya. Ah…, ternyata hanya sampai sejauh itu keberanianku. Yang seketika merasa menjadi seorang pengecut.
Akhirnya kami sampai juga di Kampus IPB. Kampus yang cukup asri. Pohon-pohon besar ada di sana-sini. Aku langsung merasa nyaman. Suasana yang tak jauh berbeda dengan suasana kampusku. Perjalanan kami mulai dari fakultas tempat ia melanjutkan studinya, Fakultas Pertanian. Kemudian kami menyusuri Kampus ke arah utara. Sampai akhirnya ke Fakultas Kedokteran Hewan, melewati kompleks hutan kecil kampus, menyusuri danau, naik menuju kompleks Perpustakaan Universitas, dan akhirnya kembali lagi di Kompleks Fakultas Pertanian.
Tiba-tiba perutku mulai meronta. Meminta haknya untuk segera dipenuhi. Kami putuskan untuk makan siang di kantin. Menu yang kupilih, gado-gado plus es teh manis. Dia hanya memesan minuman saja.
”Nggak makan?”, tanyaku.
”Nggak, Mas. Nggak lapar.”
”Emang tadi pagi sarapan?”
”Iya, sedikit sih.”, jawabnya sambil berusaha mengembangkan senyum. Namun masih saja kesedihan tergurat jelas di wajahnya. Masih sangat jelas.
Ah…, seandainya aku boleh dan bisa menghapus sedih yang ada di dirimu. Apapun caranya itu, pasti akan kulakukan. Akupun semakin penasaran, laki-laki seperti apakah yang tega membuatmu seperti ini.

Alam pikiran

Apakah ada perasaan putus asa sewaktu terapung di laut sendirian? Misalnya, berpikir ‘habislah sudah hidupku’ …?” tanya wartawan MetroTV kepada Ari Afrizal, 21, korban gelombang Tsunami, selama 15 hari 14 malam terapung-apung di lautan lepas. “Tidak!” jawabnya tegas, “Yang terpikir saya waktu itu, saya mau hidup, saya tidak mau mati!” Ternyata tekad serta apa yang dipikirkan Ari menjadi kenyataan. Pemuda yang berasal dari desa Kabong, Aceh Jaya, berhasil diselamatkan kapal Al-Yamamah yang lewat di lokasi 320 kilometer dari pantai barat Sumatera, 15 hari setelah bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004. Selama terapung di lautan Ari melawan terik matahari, dinginnya hujan serta pekatnya malam dengan hanya memakan buah kelapa serta bantuan kayu dan sampan yang hanyut bersama-sama ke laut. Tekadnya untuk hidup telah membuatnya bertahan selama 15 hari sebelum akhirnya ditolong awak kapal Al-Yamamah.
Dalam kehidupan sehari-hari, perasaan ragu, takut atau pesimis, seringkali menghantui pikiran kita. Padahal, pikiran positif, semangat serta tekad merupakan modal awal yang barangkali 50% akan menjamin keberhasilan pekerjaan dan tugas-tugas kita? Pernahkah kita sadari bahwa sesungguhnya kekuatan pikiran kita luar biasa “dahsyat”?
Dalam khasanah psikologis ini disebut sebagai “Self-fullfiling Phropecy” atau “Pygmalion Effect”. Adalah Robert Merton, seorang profesor sosiologi di Universitas Columbia yang pada tahun 1957 mengembangkan konsep ini. Dalam kajiannya yang terkenal dengan sebutan “Social Theory and Social Structure”, Merton mengatakan (dengan bahasa sederhana) ketika sebuah ekspetasi sudah dibuat, bahkan ketika itu tidak akurat, kita akan cenderung untuk bertindak melakukan sesuatu yang konsisten dengan ekspetasi itu. Dan herannya, kebanyakan ekspetasi itu akan membuahkan hasil nyata, layaknya sebuah proses mejik.
Bukankah Ari Afrizal, korban Tsunami yang terapung di lautan lepas selama 15 hari itu telah membuktikannya?
Oleh sebab itu, jangan bermain-main dengan pikiran Anda sendiri, Anda harus mengarahkan pikiran secara positif dan sistematis, karena pikiran Anda akan membawa Anda ke mana akan menuju. Percayalah, ” … All things, whatever you ask, praying, believe that you shall receive them, and it will be to you.”

Mendefinisikan ulang kesuksessan

Hal apa yang paling diinginkan semua manusia? Jawaban hanya satu: sukses. Kesuksesan telah menjadi kebutuhan setiap insan manusia di muka bumi ini. Itulah sebabnya orang menempuh berbagai cara untuk memperoleh. Salah satunya dengan jalan pendidikan formal. Sayangnya sukses bukanlah hal yang bisa dengan mudah bisa diraih setiap orang. Orang bijak selalu berkata, tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan. There is no success without sacrifice!
Meski sukses telah menjadi kebutuhan mutlak setiap manusia toh tidak semua orang memiliki pandangan yang sama tentang arti kesuksesan. Ada yang menganggapnya sebagai kekayaan. Kelompok ini umumnya mencurahkan hidupnya untuk menumpuk harta. Mereka melihat uang sebagai simbol kesuksesan. Itulah sebabnya mereka menjadi serakah dan amat mendewakan uang. Uang menjadi oksigen yang mutlak diperlukan bagi kehidupan mereka.
Sayangnya orang-orang seperti ini hidupnya hampa. Mereka umumnya cepat curiga terhadap orang lain. Amat sulit bagi mereka untuk berpikir positif terhadap orang lain. Kalau ada yang mencoba dekat, mereka lantas berpikir, “Jangan-jangan orang ini mau mengambil harta saya.” Seorang Mahaguru kebijaksanaan pernah berkata orang yang menomorsatukan harta tidak akan menemukan arti hidup yang sejati. “Sebab di mana hartanya berada, di situlah pula hatinya berada,” demikian nasihat Sang Mahaguru.
Saya tidak memungkiri bahwa kekayaan -khususnya uang- penting bagi hidup. Siapa sih yang tidak butuh uang? Sebuah lembaga keagamaan dan lembaga sosial pun butuh uang untuk kegiatan operasionalnya. Mana bisa kita mendirikan tempat ibadah tanpa uang yang merupakan
sumbangan dari orang lain? Uang memang penting tapi uang bukan segalanya. Uang adalah sarana untuk membuat hidup kita makin berarti. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Selain kekayaan, ada juga orang yang mengidentikkan kesuksesan dengan ketenangan hidup. Kelompok ini tidak suka macam-macam. Sebagian bahkan cenderung pasif dan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Sikap seperti ini juga merupakan sebuah pilihan dan kita tidak bisa
mengatakan itu keliru.
Ada juga orang yang mengidentikkan kesuksesan dengan ketenaran. Mereka rela menempuh jalan panjang yang menanjak demi popularitas. Terkadang perjalanan panjang ini sangat melelahkan sehingga beberapa memilih jalan pintas dengan mempraktekkan cara-cara kurang terpuji, seperti (maaf) menjual diri. Sudah bukan rahasia lagi kalau tidak sedikit penyanyi atau bintang film yang pernah tidur dengan produsernya. Tidak semua dari mereka yang mengambil jalan ini. Saya sendiri kenal dengan banyak artis yang tetap mempertahankan kehormatannya daripada ditukar dengan popularitas.
Paham bahwa kesuksesan identik dengan ketenaran biasanya hanya terbukti kebenarannya pada tahap awal. Lambat-laun, seiring makin meningkat popularitas, banyak hal-hal tertentu terjadi yang pada akhirnya membuat seorang tokoh publik (public figure) terpaksa menolak paham ini. Misalnya dengan hilangnya privacy yang bersangkutan karena setiap gerak-geriknya senantiasa diawasi masyarakat lewat pers. Terkadang saya sendiri amat iba melihat bagaimana kehidupan seorang artis “diobok-obok” secara berlebihan oleh media massa. Pihak media selalu mengatakan bahwa apa yang disajikannya adalah untuk memuaskan rasa ingin tahu pembaca atau penonton. Mungkin ada benarnya juga. Yang pasti, jelaslah sudah bahwa kesuksesan tidak identik dengan ketenaran.
Selanjutnya ada juga yang mendefiniskan kesuksesan dengan kesehatan yang prima. Terhadap definisi ini terkadang saya mengajukan pertanyaan reflektif, bukankah ada begitu banyak orang dengan kesehatan yang amat prima namun hidupnya kosong? Mereka sama sekali tidak berkarya dan berusaha menjadikan hidupnya lebih berarti.
Jadi, apa sih definisi sukses yang tepat? Saya tidak berpretensi menyebut diri sebagai pakar kesuksesan karena saya pun masih terus belajar dan mencari apa arti sebuah sukses sejati. Yang pasti, saya pernah membaca satu definisi tentang sukses yang tampaknya cukup menarik untuk kita simak bersama. Menurut motivator terkenal, Zig Ziglar, sukses sejati mencakup delapan bidang kehidupan, yakni: kebahagiaan, kesehatan, keuangan (kemakmuran), keamanan, kualitas persahabatan (mempunyai banyak sahabat), hubungan keluarga yang baik, pengharapan akan masa depan, dan kedamaian pikiran. Itulah sebabnya kita sering mendengar orang berkata bahwa orang kaya belum tentu sukses, namun orang yang sukses pasti kaya secara material dan spiritual.
Meski demikian, sukses bukanlah sebuah tujuan akhir; sukses adalah sebuah perjalanan. Success is not a destination; success is a journey! Ya, sukses adalah sebuah perjalanan! Jika kita telah berhasil meraih sebuah impian, kita toh tetap harus meneruskan perjalanan. Akhir dari perjalanan itu adalah ketika kita menutup mata dan kembali ke hadirat-Nya. Motivator dan pakar kepemimpinan, Dr. John C. Maxwell selalu menegaskan agar dalam perjalanan sukses itu kita senantiasa melakukan apa yang harus kita lakukan. Intinya, tempuhlah perjalanan sukses dengan benar dan hargailah prosesnya bukan hasil akhir. Bagaimana menurut Anda?
Sumber: Mendefinisikan Ulang Kesuksesan oleh Paulus Winarto, pendiri LEAF (training center yang mengkhususkan diri pada upaya meningkatkan motivasi dan mengembangkan potensi
kepemimpinan).

Sebuah renungan akhir tahun

Seorang pejabat keluar dari sebuah hotel mewah. Ia baru saja menyelenggarakan seminar dan malam amal untuk mencari dana bagi anak-anak miskin yang berkeliaran di jalan. Ketika akan masuk ke mobil mewahnya, seorang anak jalanan mendekatinya dan merengek, ”Pak, minta uang sekadarnya. Sudah dua hari saya tidak makan.” Pejabat itu terkejut dan melompat menjauhi anak itu. ”Dasar anak keparat yang tak tahu diri!” teriaknya. ”Tak tahukah kamu bahwa sepanjang hari saya sudah bekerja sangat keras untukmu?
Pembaca yang budiman, kalau Anda ingin melakukan renungan di penghujung tahun ini, saya anjurkan Anda untuk merenungkan satu hal saja: ”Seberapa besar tingkat kepedulian Anda kepada sesama?” Dari skala 1 (sangat buruk) sampai dengan 5 (sangat baik), dimanakah posisi Anda? Jawabannya tak perlu Anda kemukakan, tapi cukup disimpan untuk diri Anda sendiri.
Mengapa saya menganjurkan Anda melakukan hal ini? Ini tak lain untuk kepentingan diri Anda sendiri. Selama Anda masih berkutat dengan diri sendiri, selama itu pula jiwa Anda tak akan pernah tumbuh. Kita hanya akan mengalami transformasi yang luar biasa begitu kita mulai memikirkan orang lain. Seorang pengarang, Joseph Campbell, mengatakan, ”Pada saat kita berhenti berpikir tentang diri kita sendiri, kita sebenarnya tengah mengalami perubahan hati nurani yang sungguh heroik.”
Hal ini mudah diucapkan tetapi amat sulit dilakukan. Para politisi kita amat royal melontarkan kata-kata ”demi kepentingan rakyat.” Seorang pejabat yang mengaku paling dekat dengan wong cilik kenyataannya malah menyakiti hati rakyat dengan tanpa malu-malu menghadiahkan dirinya sendiri rumah senilai 20 miliar. Para politisi lain juga tanpa malu -malu berlomba-lomba meluncurkan buku biografi politik yang dipenuhi kata-kata ”demi kepentingan rakyat.” Buku-buku biografi semacam ini sebenarnya merupakan ”pelecehan intelektual” belaka. Kenyataannya, amat sulit bagi kita menemukan kontribusi mereka bagi orang banyak.
Memikirkan orang lain memang sangat sulit dilakukan, apalagi di zaman sekarang. Setiap hari kita disibukkan dengan pekerjaan yang tak habis-habisnya. Namun sekadar memperhatikan diri Anda sendiri akan menghasilkan kesulitan yang cukup serius dalam jangka panjang. Anda akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan spiritual Anda. Banyak orang yang beranggapan bahwa hal ini adalah kewajiban. Mereka salah besar! Memperhatikan orang lain adalah kebutuhan Anda untuk menikmati hidup yang penuh makna. Memperhatikan orang lain adalah cara terbaik untuk mencapai hakikat kemanusiaan yang sejati.
Seorang filsuf terkemuka pernah mengatakan, ”Manusia dilahirkan dalam kondisi telanjang, dan ketika meninggal ia dibungkus kain kafan. Apakah hanya itu keuntungan yang ia dapatkan sepanjang hidupnya?” Sayangnya dunia kita sekarang telah begitu materialistisnya, sehingga banyak orang beranggapan bahwa perhatian tersebut bisa digantikan dengan uang. Padahal walaupun uang memang penting, ia tak akan pernah dapat menggantikan perhatian, pengertian, kehadiran dan kasih sayang.
Betapa banyak contoh yang bisa kita ambil dari kehidupan kita sehari-hari. Banyak anak yang tumbuh tanpa perhatian yang semestinya dari orang tua mereka. Banyak orang tua yang berdalih bahwa quality time jauh lebih penting ketimbang quantity time. Padahal, kasih sayang dan pengertian hanya akan terbina melalui proses yang perlahan-lahan dan membutuhkan banyak waktu. Betapa banyak para profesional yang cukup puas dengan memberikan sejumlah uang kepada orang tua mereka tanpa pernah mau tahu mengenai keadaan mereka yang sesungguhnya. Orang-orang seperti ini telah salah kaprah dalam memahami hidup seolah-olah segala sesuatunya bisa dibeli dengan uang.
Kahlil Gibran pernah mengatakan, ”Bila engkau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila engkau memberi dari dirimu itulah pemberian yang penuh arti.” Memberi tidak harus bernuansa materi. Bahkan memberikan perhatian sebenarnya jauh lebih berarti ketimbang memberikan materi yang sifatnya amat terbatas.
Cara menunjukkan kepedulian kita adalah dengan mendengarkan. Seorang anak pernah mengungkapkannya dengan sangat baik, ”Di masa pertumbuhanku, ayahku selalu menghentikan apa yang sedang dia kerjakan dan mendengarkanku saat aku begitu bersemangat menceritakan apa yang telah aku alami seharian.” Mendengarkan dengan benar adalah melupakan diri sendiri dan memberikan perhatian lahir dan batin yang tulus. Dengan mendengarkan kita dapat menangkap bukan hanya apa yang dikatakan tetapi juga apa yang dirasakan.
Mendengarkan amat penting untuk bisa memberikan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan orang lain, bahkan sekalipun mereka tidak mengatakannya. Kahlil Gibran pernah mengatakan, ”Adalah baik untuk memberi ketika diminta, tapi jauh lebih baik lagi jika memberi tanpa harus diminta.”

Ambilah pelajaran dari Air

Saudara-saudaraku yg haus motivasi, segalanya tercipta penuh hikmah ditujukan tuk bani Adam, begitupun air dg berbagai sifatnya. Bukankah kita terlahir dalam kesucian, sejernih air yg memancar dari sumbernya. Berjalanlahlah di atas roda kehidupan, tanpa merendahkan diri dan tanpa menyombongkan, bukankah air yg tenang permukaannya selalu sama rata, sisi satu tdak lebih tinggi atau rendah dri yg lain? Jauhilah sifat pasif, bukankah beberapa penyakit lebih condong pada air yg menggenang. Bgai air yg mengisi tiap sudut ruang-ruang kosong, hendaknya kita selalu menghiasi waktu dg menunaikan semua kewajiban, fleksible, cepat menyesuaikan diri dg lingkungan sekitar. Dahulukanlah pilihan yg lebih penting dari yang penting dalam menunaikan kewajiban, sperti air, selalu memenuhi ruang dg mendahulukan bagian dasarnya. Letakkan langkah demi langkah menuju tujuan hakiki, bak air dari hulu yg sukses smpai ke hilir.
Bersabar, pantang menyerah, diantara sifat air yg tercermin pada ombak yg tak kenal lelah menghantam kokoh nya batu karang. Ketika sbuah batu mencebur dlam kolam air, perhatikan setiap jengkal permukaan ikut bergetar, dan kan kembali tenang scra bersamaan, hal ini menggambarkan kerjasama, kepedulian, kepekaan, cinta dalam ikatan sosial. Ketika air menguap, terdapat pula satu pelajaran berharga, bahwa suatu saat kita pasti kan kembali pada sang pencipta.
Rupa wajah yang begitu tampan dan cantik, keluarga yg begitu dicintai, tanah, rumah, mobil, perabot yg serba wah, semua akan ditinggal sama sekali, kecuali tiga, amal jariyah, anak sholeh, dan ilmu yg bermanfaat. Wahai tuhan kami, tidaklah kau ciptakan semua ini dg percuma. Maha Suci Engkau, maka jauhkan kami dari azab neraka.

Allhamdulillah ya

Kata yang sangat dekat buat kita,menunjukan rasa syukur kita atas nikmat yang allah berikan kepada kita secara gratis( cuma-cuma), kalau yang namanya gratisan pasti byk yang suka, itulah rasa cintanya Allah kepada kita, kurang apa lagi cobaaa,,hayooo… Mau hitung-hitungan, pernah melihat orang yangkena penyakit asma, mereka harus menggunakan alat bantu untuk mengendurkan bronkiolus,,yang hanya bisa digunakan 70kali hisapan, sedangkan harganya Rp 21.000,-, jadi kalau kita mau menghitung 21.000 dibagi 70 = 300, harga untuk sekali kita menarik nafas itu Rp 300 , mungkin hari ini saja kita mungkin menghabiskan 2 juta rupiah ,hanya untuk bernafas.
Belum lagi jantung kita, selalu berdenyut tanpa henti-hentinya. 1 menit 70 kali denyutan, 1hari 100.000 kali denyutan, 1 tahun 40 juta kali denyutan,, seandainya jika jantung kita minta istirahat 2 menit saja, apa yang terjadi ,,,,hmm.. Namun Allah masih memberika itu semua secara gratis.
“Dan jika kau jadikan ranting-ranting pepohonan sebagai penanya, dan lautan sebagai tintanya, maka kau tidak akan sanggup menulis nikmat Allah”.
Ada sebuah cerita, ada seorang tukang butut yang menabung begitu lama hanya untuk membeli sepatu baru. Dan akhirnya dia memilikinya, masih runing di pakai smbil wajah yg gembira dibwa ke sebuah musholla untuk sholat zuhur….ketka pulang solat di lihatnya ketempat ia meletakkan sepatu yg tadi, ternyata sepatunya sudah tiada ( bagaimana perasaannya saat itu,) Dan ia pun mengerutu kepada Allah. “Ya Allah , sungguh kejamnya dirimu, aku menabung bernulan-bulan hanya untuk membeli sepatu namun engkau mengambillnya ,sunnguh kejam engkau ya Allah”. sambil mengerutu ia keluar dari musholla itu, ketika ia hendak pergi , ia melihat seorang pemuda sedang berjalan menuju musholla namun dengan tongkat,karna kakinya satu patah,, dan tukang butut tadi langsung menyesali perkataanya tadi dengan allah , sambil mengucapkan ” ya Allah trima kasih, engkau masih mengambil sepatu ku , bukan kakiku”.

APA ITU KEBAHAGIAAN

Berapa banyak orang di dunia ini yang hidupnya dipenuhi rasa kegelisahan dalam hatinya dan kebingungan yang tak berujung hanya karena persepsi yang salah tentang kebahagiaan. Sebenarnya apa itu kebahagian itu? Megapa banyak orang sulit untuk meraihnya? Apakah meraka tidak bisa menemukan kebahagiaan? Atau mereka menemukan hal yang mirip dengan kebahagiaan tetapi sesungguhnya bukan kebahagiaan?
Pertanyaan ini sudah muncul sejak berabad-abad yang lalu dan misteri kebahagiaan ini masih saja belum menemukan jawaban yang tuntas, disini saya akan mencoba untuk menoba mendevinisikan kebahagian tersebut,
Menurut saya sebenarnya mereka itu bukannya tidak menemukan kebahagiaan, hanya saja mayoritas orang salah dalam mengartikan kebahagiaan tersebut. Bagaimana tidak? karena sesunguhnya kebahagiaan itu hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang pandai dalam meng-syukuri dan tabah dengan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya didunia ini 2 sifat ini muncul karena keyakinan seseorang akan Tuhan. Maka jika sesorang telah hidup sebagaimana mestinya dan ketika kegagalan menderanya dia tak berputus asa atas kegaglan tersebut dan ketika keberhasilannya dalam suatu usaha ia raih, sombong dan congkak bukanlah sifat yang akan terlihat darinya.
Namun yang terjadi pada saat ini bukanlah seperti cerita diatas,oleh karenanya disini saya akan menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan kebahagiaan itu sulit kita raih agar dapat kita hindari dan menjadikannya sebagai solusi terbaik dalam meraih kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan,
Pertama : Manusia cenderung mencari kebahagiaan dengan cara menemukan benda-benda yang diluar yang mereka anggap bisa membahagakan, dalam hal ini yang berperan penting adalah uang, kebahagian seringkali ditafsirkan dengan uang,harta benda dan kekayaan sebab mereka berkeyakinan bahwa kebhagiaan adalah kemampuan ketika kita bisa mendapatkan apapun yang kita iniginkan dan solusi terbaik untuk mendapatkanya adalah uang. Ini yang membuat diri kita mencurhkan segenap tenaga dan pikiran demi memperolehnya.
Yang menarik dalam hal ini ternyata uang bukannya bisa membuat kita merasa bahagia tetapi justru rasa tidak puas. Semaki kita memperoleh uang maka semakin tidak puas pula diri kita dengan hasil yang telah kita peroleh dan dari keidak puasan ini maka sudah pasti kebhagian bukanlah hal yang kita peroleh.
Kedua : Manusia sreingkali memaknai kebhagiaan dengan kesenangan dan kenikmatan. Setiap orang memang senantiasa mencari kesenagna dan menghindari kesakitan, ini sudah menjadi fitrah dari manusia tanpa terkecuali, namun seringkali manusia hanya mempunayai perspektif jangka pendek yang menyebabkanya jatuh kedalam jurang ketidakbhagiaan karena manusia sringkali terpedaya pada kenikmatan dan kesenangan yang padahal ujungya menghantarkan pada penderiataan yang jauh kebih mendalam.
Mendapatkan uang se-banyak-banyaknya dengan cara yang mudah adalah kesenangan, tapi orang lupa bahwa diujung kebahagiaannya dia harus membayar dengan penderitaan telah menantinya misalkan jika ia harus menghadapi hukuman karena korupsi, tergoda dalam kesenangan seks yang secara kasak mata terlihat bahwa itu adalah bentuk dari kebhagiaan dan terlihat sangat menyenagkan untuk kemudian harus menuai hancurnya kredibilitas.

Ke empat : ketidak percayaanya manusia akan hukum alam yaitu hukum sebab-akibat yang telah diatur oleh tuhan didunia sebagai cara Tuhan untuk intervensi dunia ini karena setiap perbuatan dialam ini akan ada akibatnya, tidak ada yang gratis.
Segala kebaikan pasti akan berakibat kebaikan pula meski tidak terjadi secara langsung begitu pula sebalinya. Banyak orang berfikiran bahwa hukum alam ini adalh relatif dan brfikir bahwa dia bisa mengakali hukum alam, mungkin pemikiran inilah yang menyebabkan manusia tak segan-segan melakukan kejahatan meski merka tau bahwa setiap keburukan akan menuai keburukan.
Pemikiran sperti ini sesungguhnya mencerminkan bahwa manusia tidak sepenuhnya percaya pada Hukum-Hukam Tuhan, ketika kita melakukan kejahatan sekecil apapun maka sesungguhnya kita telah merusak kbahagiaan kita sendiri. Ingatlah bahwa jiwa manusia itu suci pada fitrahnya, maka jika kita melakukan kejahatan sudah pasti muncul rasa gelisah, tidak tenang dan perasaan dikejar-kejar rasa bersalah, sesorang yang melakukan kejahatan bisa saja mersa gembira atas kejahatannya sendiri. tapi tidak bisa di pungkiri dibalik kesenagnya itu rasa tidak tenang dan tidak damai selalu inggap dihatinaya. Batas kebahagiaan manusia itu adalah kebaikan, ketika seorang manusia keluar gari jalur kebaikan maka hatinya akan gelisah dan akan kembali damai lagi jika ia kembali kepada kebaikan.

SURAT DARI SOMALIA

surat somaliaSebuah cerita menarik dari saudara kita di afrika,,,,
ini adalah curhatan mereka yang dikirim ke email saya :
hari ini kami tidak makan
sama seperti hari kemarin
dan tampaknya kan berlanjut di esok hari…
saudara -saudara ku di indonesia mungkin hari ini dapat menikmati daging kurban….
namun kami untuk segelas air putih pun kami tak punya….
kelaparan dan kematian begitu dekat dengan kami…
namun tak sedikit pun yang peduli terhadap kami….
ANDA semua begitu kenyang dengan makanan….
tak ada sedikit pun ada rasa kelaparan….
banding kan dengan kami….
anak-anak kami begitu menderita…
bagaimana bisa menempuh pendidikan,,,
sedangkan untuk makan saja tidak ada,,,
maka pesan kami dari somalia….
BERSYUKUR lah….
karena kalian tidak menderita seperti kami….
jangan hanya Aktif di FB aja,,,
tapi doakan kami di doamu…
dari saudara mu di somalia…………………………

Looking For a Bride

There was once a young shepherd who wanted very much to marry, and was acquainted with three sisters who were all equally pretty, so that it was difficult for him to make a choice, and he could not decide to give the preference to any one of them.
Then he asked his mother for advice, and she said: “invite all three, and set some cheese before them, and watch how they eat it.”
The youth did so, the first swallowed the cheese with the rind on, the second hastily cut the rind off the cheese, but she cut it so quickly that she left much good cheese with it, and threw that away also, the third peeled the rind off carefully, and cut neither too much nor too little.

The shepherd told all this to his mother, who said, take the third for your wife. This he did, and lived contentedly and happily with her.

The Peasant in Heaven

Once upon a time a poor pious peasant died, and arrived before the gate of heaven. At the same time a very rich, rich lord came there who also wanted to get into heaven.

Then saint peter came with the key, and opened the door, and let the great man in, but apparently did not see the peasant, and shut the door again.

And now the peasant outside heard how the great man was received in heaven with all kinds of rejoicing, and how they were making music, and singing within.
At length all became quiet again, and saint peter came and opened the gate of heaven, and let the peasant in.

The peasant, however, expected that they would make music and sing when he went in also, but all remained quite quiet. He was received with great affection, it is true, and the angels came to meet him, but no one sang.

Then the peasant asked saint peter how it was that they did not sing for him as they had done when the rich man went in, and said that it seemed to him that there in heaven things were done with just as much partiality as on earth.
Then said saint peter, by no means, you are just as dear to us as anyone else, and will enjoy every heavenly delight that the rich man enjoys, but poor fellows like you come to heaven every day, but a rich man like this does not come more than once in a hundred years.

The Boy Who Cried Wolf

A shepherd-boy, who watched a flock of sheep near a village, brought out the villagers three or four times by crying out, "Wolf! Wolf!" and when his neighbors came to help him, laughed at them for their pains.


The Wolf, however, did truly come at last. The Shepherd-boy, now really alarmed, shouted in an agony of terror: "Pray, do come and help me; the Wolf is killing the sheep"; but no one paid any heed to his cries, nor rendered any assistance. The Wolf, having no cause of fear, at his leisure lacerated or destroyed the whole flock.

There is no believing a liar, even when he speaks the truth.



The Ant and the Grasshopper

In a field one summer's day a Grasshopper was hopping about, chirping and singing to its heart's content. An Ant passed by, bearing along with great toil an ear of corn he was taking to the nest.

"Why not come and chat with me," said the Grasshopper, "instead of toiling and moiling in that way?"

"I am helping to lay up food for the winter," said the Ant, "and recommend you to do the same."

"Why bother about winter?" said the Grasshopper; "We have got plenty of food at present." But the Ant went on its way and continued its toil.


When the winter came the Grasshopper had no food and found itself dying of hunger - while it saw the ants distributing every day corn and grain from the stores they had collected in the summer. Then the Grasshopper knew: It is best to prepare for days of need.

The Tortoise and the Hare

The Hare was once boasting of his speed before the other animals. "I have never yet been beaten," said he, "when I put forth my full speed. I challenge any one here to race with me."

The Tortoise said quietly, "I accept your challenge."

"That is a good joke," said the Hare; "I could dance round you all the way."

"Keep your boasting till you've won," answered the Tortoise. "Shall we race?"

So a course was fixed and a start was made. The Hare darted almost out of sight at once, but soon stopped and, to show his contempt for the Tortoise, lay down to have a nap. The Tortoise plodded on and plodded on, and when the Hare awoke from his nap, he saw the Tortoise just near the winning-post and could not run up in time to save the race.

Then the Tortoise said: "Slow but steady progress wins the race."

The Pied Piper

Many years ago, in the German town of Hamelin, the people had a terrible problem with rats. There were rats everywhere, in the streets, houses, beds, and even in babies cots. The mayor did not know what to do.

One day, a peculiar man called the Pied Piper arrived and said he could deal with the problem if the mayor would pay a huge sum of money. The mayor agreed.

The Pied Piper played the pipes and the rats followed him out of Hamelin and fell out a cliff.
"I refuse to pay!" said the mayor.

So, the Pied Piper played his pipes again. This time every child followed the Pier Piper. They never returned. The mayor had learned his lesson, but much too late.

The Gingerbread Man

Once upon a time, an old woman and her husband lived alone in a little old house. The couple had no children, and being lonely, the woman decided to make a boy of gingerbread. She carefully mixed the batter, rolled out the dough, and cut out out a very nice gingerbread man. She added sugar icing for his hair, mouth, and clothes, and she used candy chips for buttons and eyes. What a fine looking gingerbread man he was! The old woman put him in the oven to bake. After he was fully done, she slowly opened the oven door. Up jumped the gingerbread man, and he ran out the door saying,
"Run, run, as fast as you can!
You can't catch me!
I'm the Gingerbread Man!"
The old woman and the old man ran after him, but they could not catch him.


CowAnd so the Gingerbread Man ran and ran. While he running, he met a cow.
"Moo," said the cow. "You look very fine! Fine enough to eat!" And the cow started to chase to little man.
But the Gingerbread Man ran faster, saying,
"I ran away from an old woman,
I ran away from an old man,
And I can run away from you!
I can!"

And he laughed,
"Run, run, as fast as you can!
You can't catch me!
I'm the Gingerbread Man!"
The cow ran after the Gingerbread Man, but she could not catch him.


HorseThe Gingerbread Man kept running, and soon he met a horse.
"Neigh," said the horse, "You look mighty tasty. I think that I would like to eat you."
"But you can't!" said the Gingerbread Man.
"I ran away from an old woman,
I ran away from an old man,
I ran away from a cow,
And I can run away from you!
I can!"

And so he ran singing,
"Run, run, as fast as you can!
You can't catch me!
I'm the Gingerbread Man!"
The horse ran after the Gingerbread Man, but he could not catch him.



ChickenThe Gingerbread Man ran and ran, laughing and singing. While he ran, he met a chicken.
"Cackle, cackle," said the chicken, "You look fine enough to peck for dinner. I'm going to eat you, Mr. Gingerbread Man."
But the Gingerbread Man just laughed.
"I ran away from an old woman,
I ran away from an old man,
I ran away from a cow,
I ran away from a horse,
And I can run away from you!
I can!"

And so he ran singing,
"Run, run, as fast as you can!
You can't catch me!
I'm the Gingerbread Man!"
The chicken ran after the Gingerbread Man, but she could not catch him.


The Gingerbread Man was proud that he could run so fast.
"Nobody can catch me," he thought. So he kept on running until he met a fox.
He just had to tell the fox how he ran faster than all the others.

Fox"Mr. Fox," he said,
"As tasty as I appear to be,
I cannot let you catch and eat me.
I ran away from an old woman,
I ran away from an old man,
I ran away from a cow,
I ran away from a horse,
I ran away from a chicken,
And I can run away from you!
I can!"
But Mr. Fox did not seem to care.

"Why would I want to bother you?" asked Mr. Fox. "You don't even look that tasty. No, young man, I don't want to eat you at all."
The Gingerbread Man was so relieved.

"Well, indeed, Mr. Fox," said the Gingerbread Man. "If you don't mind, I think I'll take a little rest here." And the Gingerbread Man stopped running and stood still.
And right when he stood still. Snap! went Mr. Fox's jaws right into the Gingerbread Man until he was gone.
"He was very tasty after all," thought the fox.

Sekali Kerja Semua Beres

Suatu hari si Udin ditegor majikannya.
Majikan : "Udin, kamu kalo kerja kok nggak pernah beres sekaligus, sih. Saya cuma nyuruh kamu beli 5 butir telur aja kamu sampe bolak-balik ke warung 5 kali. Lain kali jangan begitu ya ?"
Udin : "Iya, tuan" sambil manggut-manggut tanda nurut.
Beberapa hari kemudian sang majikan sakit, terus nyuruh Udin manggil tabib (maklum dokter mahal). Tapi sang majikan jadi kaget, karena waktu kembali nggak cuma tabib yang dipanggil Udin, tapi beberapa orang lain. Sang majikan nanya:
Majikan : "Udin, kamu ini apa-apaan sih, kan saya cuma nyuruh kamu manggil tabib, kenapa ada banyak orang lain di sini?"
Udin : "Lho, kan tuan nyuruh saya kerja musti beres sekaligus ?"
Majikan : "Iya, tapi apa hubungannya sama orang-orang ini?"
Udin : "Tuan kan nyuruh saya manggil tabib, nah, tabib kan biasanya setelah memeriksa, nulis resep obat, makanya saya panggil juga TUKANG OBAT, terus tukang obat kalo mau bikin obat kan perlu bahan-bahannya, makanya saya panggil juga TUKANG JUALAN BAHAN-BAHAN OBAT, terus bahan-bahan obat itu kan perlu dimasak dulu, saya panggil juga TUKANG KAYU BAKAR, kalo obatnya udah jadi, terus kan tuan minum itu obatnya, iya kalo tuan sembuh, kalo tuan malah mati gimana, makanya saya panggil juga TUKANG GALI KUBURAN."

Karena Haram tidak ikut disembelih

Menjelang Idul Adha, semua kambing, sapi dan kerbau terlihat murung dan sedih. 
Babi ketawa sambil berkata kepada bebek,"Bek, untung aku haram, jadi kagak dipotong."
Bebek senyum-senyum saja dan berbisik ke hewan lainnya,
"Dia belum sadar kalau sebentar lagi Natal..."

Pamer Merek Parfum mewah

Seorang wanita tua naik lift di Gedung Kantor yang sangat mewah. Seorang wanita muda dan cantik masuk ke dalam lift dan berbau wangi lalu menoleh kepada wanita tua dan berkata angkuh, "Giorgio - Beverly Hills, $100 per ounce"
Wanita muda dan cantik berikutnya naik di lift dan juga sangat arogan menatap menjadi wanita tua itu dan berkata, "Chanel No 5, $150 per ounce!"
Sekitar tiga lantai kemudian, wanita tua itu telah mencapai tujuannya dan akan turun lift. Sebelum dia pergi, dia melihat kedua wanita cantik itu, tersenyum, lalu membungkuk, dan mengeluarkan sebuah kentut yang berbau paling busuk.
Dia meninggalkan kedua wanita itu di dalam lift, sambil mengatakan "Brokoli, 50sen sekilo!"

Minggu, 08 Januari 2012

Puisi Romantis

Aku dan makna
Aku mengukir garis lengkung di bibirku
Isyaratkan rona2 hati merah muda…
Begitu lembut membelai jantungku..
Seperti ketika kehidupan berikan nyaman di waktuku..
Aku mengukir tanya di benakku..
Isyaratkan pikir yang menuntut kepastian..
Mendesak hebat menyesakkan dadaku
Seperti ketika awan gelap curahkan hujan…
Wahai kau sebuah makna..
Berikan aku setitik terang tuk langkahku…
Ketika ku ingin menggapaimu..
Dan berbisik..aku mencintaimu tanpa syarat

Boneka kecil

Boneka Kecil gelapnya malam segelap hatinya mungkin akan terus gelap sampai ia tiba di pintu penghujung sesak dadanya tak terdengar oleh para peri penjaga langit terbaring di sofa mungil memegang erat boneka kecil itu… Sesak dadanya tak terdengar oleh bintang yang menjaga malam… Ia terus terdiam memeluk boneka kecil terus di peluknya sambil tetes bening

Tangisan seorang sahabat

dulu.,kita selalu seirama dalam nada.. satu dalam langkah.. bahagia dalam tangis.. merangkul saat ku terinjak.. kini..tangis.,tawa,,adalah bingkai kenangan kita.. tertatih..merintih.. dalam rindu yang terlarang.. kebisuan menjadi raja saat ini,, adakah disana kau tau..? seorang sahabat dalam nyanyian tangis.. mencoba memanggilmu.. ? dalam hembusan angin yang gersang., yang sulit merasuk ke hatimu yang lembut itu,.. masih [...]

Hantu Berwajah Putih?

Hujan baru saja berhenti turun. Udara malam terasa dingin menusuk tulang. Untuk kesekian kalinya Shasa melihat ke arah jalan di muka rumah. Mama belum juga pulang. Setengah jam yang lalu mama menelepon. Ia masih terjebak macet di jalan. Di musim hujan seperti sekarang ini, di mana-mana memang sering terjadi macet.

Telepon rumah berbunyi. Dilihatnya Tante Ria yang menemaninya di rumah bergegas mengangkat gagang telepon. Shasa kembali melihat keluar. Duhhh.. kapan sih mama pulang?

“Sabar Sha.. Nanti juga mama pulang.” Tante Ria yang sudah menyelesaikan percakapannya di telepon berusaha menghibur Shasa.

“Tadi itu telepon dari mama ya?” tanya Shasa sambil memalingkan pandangannya.

“Bukan. Tadi itu telepon dari Om Iwan. Katanya dia gak bisa menelepon ke rumahnya. Jadi dia minta tolong kita ke rumahnya dan memberitahu istrinya. Siapa tahu letak gagang telepon di rumah mereka tidak pas,” kata Tante Ria.

Shasa melongokkan kepalanya. Rumah Om Iwan letaknya berhadapan dengan rumah Shasa. Dilihatnya pintu rumah Om Iwan tertutup.

“Mungkin Tante Puspa sedang pergi. Tuhh.. pintunya tertutup,” kata Shasa mengemukakan pikirannya. Tante Puspa itu nama istri Om Iwan.

“.. tapi itu mobilnya ada,” bantah Tante Ria.

“Siapa tahu perginya gak naik mobil. Lagian kok Om Iwan gak nelepon ke handphone Tante Puspa?” tanya Shasa.

“Tadi juga Tante Ria sudah bertanya seperti itu tapi kata Om Iwan handphone Tante Puspa sedang diperbaiki.” Tante Ria menjelaskan.

“Bagaimana kalau Shasa pergi ke rumah Om Iwan, nge-cek apakah Tante Puspa ada di rumah sekaligus menyampaikan pesan Om Iwan?”

Shasa tampak ragu-ragu mendengar permintaan tantenya itu.

“Shasa takut ah..,” kata Shasa.

“Lohh.. takut apa?” tanya Tante Ria.

“Ngg.. rumah di sebelah rumah Om Iwan kan kosong,” kata Shasa setengah berbisik.

“Lohh.. memangnya kalau ada rumah kosong kenapa?” Tante Ria tampak bingung.

“Ngg.. gini loh tante, katanya kalau rumah kosong itu suka ada hantunya. Nanti kalau hantunya muncul di tembok pembatas rumah Om Iwan bagaimana?” Suara Shasa terdengar semakin lirih.

Sesaat Tante Ria hanya bisa bengong sebelum akhirnya sambil tersenyum berkata, “Aduh.. Sha.. Yang seperti itu kan hanya ada di film atau sinetron!”

Ragu-ragu Shasa melihat ke arah rumah Om Iwan kemudian ke rumah di sebelahnya yang tampak gelap.

“Gini deh, Tante Ria tungguin di pintu pagar,” kata Tante Ria lagi.

“Ayo dong Sha.. Itu kan sama saja berbuat kebaikan.” Tante Ria memanas-manasi Shasa yang belum juga bergerak.

“Iya deeehh..” Akhirnya Shasa bangkit dari duduknya. Ditunggui Tante Ria yang berdiri di pintu pagar, Shasa menyeberang jalan menuju rumah Om Iwan.

Shasa mendorong pintu pagar rumah Om Iwan. Eh, ternyata tidak terkunci! Berarti Tante Puspa ada di rumah. Masa’ meninggalkan rumah tanpa mengunci pintu pagar?

“Assalamu’alaikum,” Shasa mengucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah Om Iwan. Tidak terdengar jawaban. Sekali lagi Shasa mengulangi salamnya dan kembali mengetuk pintu. Duhh.. kemana sih Tante Puspa?

Shasa melihat ke arah rumah kosong di sebelah rumah Om Iwan. Tembok yang memisahkan kedua halaman rumah tidaklah tinggi. Shasa bisa melihat ranting-ranting pohon yang ada di halaman rumah itu bergoyang-goyang di hembus angin malam. Tiba-tiba Shasa teringat apa yang ditakutkannya tadi. Hantu itu menampakkan wujudnya di tembok pembatas rumah. Hiii…

Baru saja Shasa akan mengetuk pintu lagi ketika daun pintu di hadapannya perlahan terbuka. Shasa baru akan membuka mulutnya ketika dilihatnya Shasa seraut wajah berwarna putih muncul. Tanpa menunggu lebih lama lagi ia membalikkan badannya dan berlari meninggalkan rumah Om Iwan.

Tak dipedulikannya Tante Ria yang berlari menyongsongnya. Shasa baru berhenti setelah sampai di teras rumahnya. Dengan nafas tersengal-sengal ia buru-buru masuk ke dalam rumah. Dari balik jendela dilihatnya Tante Ria masuk ke dalam rumah Om Iwan dan berbicara dengan ‘hantu berwajah putih’ itu di teras rumah. Waduuuhh… Tante Ria kok berani sekali ya?

Tak lama kemudian Tante Ria sudah kembali. Tak ada tanda-tanda ketakutan di wajahnya. Yang ada malah senyuman.

“Hayooo.. kenapa tadi Shasa lari?” tanya Tante Ria.

“Itu siapa sih?” Shasa balik bertanya. Nafasnya sudah tak lagi tersengal-sengal. “Wajahnya kok putih gitu?”

“Aduh.. Sha.. Itu kan Tante Puspa,” Tante Ria menjawab sambil susah payah menahan tawa. “Tante Puspa itu sedang memakai masker bengkoang di wajahnya. Makanya wajahnya jadi putih.”

Shasa terbengong-bengong mendengar penjelasan Tante Ria.

“Lagian Tante Puspa pake masker bengkoang segala sih.. Shasa kirain itu hantu.”

Tante Ria tertawa mendengarnya.

“Nih, Sha, tadi tante Puspa menitipkan coklat buat Shasa. Tante Puspa minta maaf sudah membuat Shasa terkejut sampai lari ketakutan.”

Sambil nyengir Shasa menerima coklat yang disodorkan Tante Ria. Coklat dari Tante puspa? Hmmm… nyam..nyam…nyam...

Pengantar Susu Bertopi Merah

Sebuah sepeda berhenti di depan rumah Shasa. Pengemudinya yang bertopi merah mengambil sesuatu dari kotak yang terikat di boncengan sepeda. Dua kantong susu kedelai diulurkan ke arah Shasa yang kebetulan sedang berdiri di halaman luar rumahnya.
“Loh, kok bukan Bang Momo yang mengantar susu?” tanya Shasa manakala dilihatnya pengantar susu itu bukanlah orang selama ini mengantar susu kedelai ke rumah Shasa.
“Sekarang setiap hari Sabtu dan Minggu khusus untuk sektor perumahan ini saya yang mengantar,” pengantar susu itu menjelaskan dengan nada suara yang terdengar sedikit gugup. Letak topinya membuat wajahnya tidak terlihat jelas.
Shasa tidak bertanya lebih lanjut. Dibawanya dua buah kantong susu kedelai itu ke dalam rumah. Sekilas dilihatnya pengantar susu itu memandangnya namun buru-buru memalingkan wajahnya ketika mereka bertatapan. Shasa yang baru saja akan melangkah ke dalam rumah mendadak berpaling ketika didengarnya pengantar susu itu mengatakan sesuatu. Shasa mengerutkan keningnya. Kok sepertinya dia tadi mendengar pengantar susu itu berpamitan dengan memanggil namanya ya? Atau itu hanya perasaannya saja?
Esok harinya, pengantar susu itu datang tepat ketika Shasa sedang menyapu daun-daun pohon mangga yang berguguran.
“Ana, ini susunya!” sapaannya membuat Shasa menolehkan kepalanya.
“Kok kamu tahu namaku?” tanyanya heran. Hampir semua temannya memanggilnya Shasa. Hanya beberapa orang saja yang memanggilnya Ana.
“Eh, oh, ngg.. anu.. aku.. aku diberitahu Bang Momo,” jawabnya gugup.
Shasa menerima susu yang diulurkannya. Anak itu menundukkan kepalanya dan terburu-buru memutar sepedanya dan mengayuh menjauh. Shasa menatap laju sepeda yang menjauhinya sambil sibuk berfikir-fikir. Rasa-rasanya ia seperti mengenal pengantar susu itu tapi dimana ya? Hmm.. ia harus menunggu sampai tiba hari Sabtu untuk bisa bertemu pengantar susu itu. Bukankah kemarin ia mengatakan bahwa ia hanya mengantar susu setiap hari Sabtu dan Minggu?
Hari Sabtu minggu berikutnya, Shasa sedang bersepeda bersama papa ketika sebuah sepeda melaju mendahuluinya. Sepeda pengantar susu! Cepat-cepat Shasa mengayuh sepedanya. Berusaha agar ia bisa tiba di rumah bersamaan dengan si pengantar susu. Namun rupanya pengantar susu itu tahu niat Shasa. Ia mengayuh sepedanya semakin cepat.
Mama yang berada di luar pagar menatap heran ketika dua buah sepeda berhenti hampir bersamaan. Pengemudinya sama-sama terengah-engah.
“Loh, ada apa ini? Balapan sepeda?” tanya mama heran. Rupanya mama memperhatikan peristiwa yang terjadi sejak dari ujung jalan.
“Ini.. ini.. susunya, Tante,” kata pengantar susu itu masih dengan nafas memburu. Setelah mama mengambil susu yang disodorkannya, buru-buru ia menaiki sepedanya.
“Hei, tunggu dulu, nama kamu siapa?” Shasa bertanya.
Bukannya menjawab, pengantar susu itu mengayuh sepedanya dengan terburu-buru.
“Ada apa sih, Sha?” tanya mama bingung.
“Rasa-rasanya Shasa kenal dia, Ma, tapi dimana ya?” Shasa menjawab setengah bergumam sambil mengernyitkan keningnya.
“Kalau tidak salah, Bang Momo pernah bercerita kalau ia mempunyai seorang adik yang tinggal bersama neneknya di kampung halaman mereka. Mungkin dia itu adiknya Bang Momo yang sekarang tinggal disini,” kata Mama.
Shasa mendengarkan kata-kata mama sambil sibuk menggali ingatannya kenapa rasanya ia mengenal pengantar susu itu.
Esok paginya, Shasa sedang berdiri memperhatikan pohon sirsak yang sedang berbuah ketika terdengar seruan yang bernada peringatan.
Ulat Bulu“Awas, Na, ada ulat bulu di bajumu.”
“Hah?! Ulat?! Hiii..” kontan Shasa berteriak-teriak sambil melompat-lompat.
Mama dan papa yang mendengar teriakannya bergegas menghampiri. Namun mereka keduluan pengantar susu yang dengan sigap menepis ulat bulu itu dari baju Shasa di bagian belakang dengan menggunakan daun kering.
“Sudah.. sudah.. ulatnya sudah tidak ada,” kata mama berusaha menenangkan Shasa.
“Ulatnya sudah kabur, Na,” pengantar susu itu tersenyum melihat tingkah Shasa.
Sekilas lesung pipinya terlihat. Shasa yang masih melompat-lompat kegelian tertegun. Dilihatnya pengantar susu itu memutar arah sepedanya dan mulai mengayuh menjauh.
Keesokan harinya ketika jam istirahat sekolah tiba, Shasa menghampiri Idham yang asyik mendengarkan cerita Fabian sambil tersenyum.
“Hai..” sapanya. Kedua anak itu menoleh dengan terkejut terutama Idham.
“Makasih ya, kemarin kamu sudah menolongku dari ulat bulu.” Kata-kata Shasa membuat anak itu tertegun. Lesung pipinya yang sebelumnya terlihat mendadak hilang.
Shasa cekikikan. “Yang mengantar susu ke rumahku hari Sabtu dan Minggu itu kamu kan?”
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyanya pelan. Fabian hanya terdiam kebingungan.
“Ya tahu dong.. Tidak banyak yang memanggilku dengan nama panggilan Ana. Hampir semua teman-temanku mengikuti nama panggilanku di rumah. Lagipula diantara yang sedikit itu hanya kamu yang mempunyai lesung pipi.”
Idham hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia memang belum lama pindah sekolah setelah sebelumnya ia tinggal bersama neneknya.
Susu KedelaiSebenarnya tugas mengantar susu kedelai adalah tugas kakaknya. Ia sendiri yang berinisiatif menggantikan tugas kakaknya setiap hari Sabtu dan Minggu.
Tak dinyana salah satu pelanggan susu kedelai buatan ibunya adalah teman sekelasnya.
Dilihatnya Anastasia Shafarina tersenyum penuh kemenangan. Gara-gara salah panggil nama, ketahuan deh identitas pengantar susu bertopi merah…

Kereta Tak Berkuda

Hari Sabtu ini mama harus pergi ke Yogya untuk bertemu dengan penerbit buku. Berangkatnya hari Jum’at sore. Karena hari Senin-nya itu hari libur nasional, mama mengijinkan Shasa ikut. Tentu saja bersama papa juga.
Papa kebagian tugas menjaga Shasa selama mama sibuk dengan urusannya, Seperti yang sudah disepakati bersama, Shasa akan menghabiskan hari Sabtu itu dengan berenang. Shasa itu paling senang dengan yang namanya main air. Kalau sudah berenang bisa lupa waktu.
Untungnya urusan mama hanya memerlukan waktu satu hari. Hari Minggu pagi setelah sarapan mama mengajak Shasa jalan-jalan.
“Shasa pengen berenang lagi, Ma.. Kolam renangnya asyik loh.. ada seluncurannya,” kata Shasa.
“Aduh, Sha.. Kemarin hampir setengah harian berenang masih belum puas juga? Masa’ jauh-jauh ke Yogya hanya untuk berenang saja?” tanya Mama.
“Iya, Sha, papa yang nungguin di pinggir kolam renang saja sudah bosan melihat air kolam,” kata Papa.
“Papa sih gak ikutan berenang jadinya bosan deh. Kalau papa ikut berenang dijamin gak bosan, apalagi kalau main seluncuran,” Shasa nyerocos. “Memangnya kita mau kemana sih, Ma?”
“Ya, jalan-jalan lah.. menyusuri jalan-jalan di kota Yogya naik kereta tak berkuda,” jawab Mama.
“Kereta tak berkuda? Apaan tuh?” tanya Shasa heran.

Becak“Makanya ikut mama saja supaya gak penasaran,” kata mama sambil tersenyum misterius. Tak lama kemudian mereka berjalan beriringan keluar hotel. Dengan langkah pasti mama menuju tempat becak-becak yang mangkal di luar pagar hotel dan bicara dengan salah seorang di antara mereka.



“Yuk, kita naik,” ajak mama.
Dengan sigap pengemudi becak itu mengangkat bagian belakang becak supaya mama dan Shasa bisa masuk ke dalam becak dengan mudah. Papa ikut naik becak tapi di becak yang berbeda.
Perlahan becak pun mulai berjalan. Serrr.. Serr.. terdengar suara kayuhan tukang becak. Angin sepoi-sepoi terasa membelai wajah. Hmmm.. baru kali ini Shasa naik becak. Di tempat tinggal Shasa di Tangerang tidak ada becak. Shasa menoleh ke belakang. Papa melambaikan tangannya dan buru-buru menyiapkan kamera untuk memotret Shasa dan mama.
“Ma, katanya tadi mau keliling kota naik kereta tak berkuda,” kata Shasa.
“Yang kita naiki sekarang kan kereta tak berkuda,” jawab mama sambil tersenyum.
“Loh.. bukannya ini namanya becak?” tanya Shasa.
“Iya, becak itu kan kereta tak berkuda,” lagi-lagi mama menjawab sambil tersenyum.
“..kan ada lagunya..” sambung mama.
“Lagu apa?” Shasa bertanya penuh rasa ingin tahu.
Mama pun lalu menyanyikan sebuah lagu.

Saya mau tamasya berkeliling-keliling kota

Hendak melihat-lihat keramaian yang ada

Saya panggilkan becak kereta tak berkuda

Becak.. becak.. coba bawa saya

“Loh.. kok Shasa baru tau ya ada lagu anak-anak seperti itu..” kata Shasa.
“Itu lagu ciptaan Ibu Sud,” jawab mama. “Mama diajari lagu itu waktu mama sekolah taman kanak-kanak.”
“Hah..?! sudah lama sekali dong..,” Shasa menatap mamanya dengan mata yang membesar. “Mama nyanyi lagi dong..” kata Shasa.
Diiringi Shasa yang menggoyang-goyangkan badannya ke kiri dan ke kanan, mama meneruskan nyanyiannya.

Saya duduk sendiri dengan mengangkat kaki

Melihat dengan aksi ke kanan dan ke kiri

Lihat becakku lari bagai takkan berhenti

Becak.. becak.. jalan hati-hati

Serr.. Serr.. Becak pun terus melaju. Sesekali terdengar suara bel-nya dibunyikan. Ting-nong.. Ting-nong.. Ooo.. sekarang Shasa tahu mengapa becak dikatakan sebagai kereta tak berkuda. Becak diumpamakan seperti kereta hanya saja bukan ditarik oleh kuda melainkan dikayuh oleh pengemudinya.
Mereka berkeliling ke tempat penjualan batik. Kemudian ke tempat penjualan kaos dan juga tempat penjualan oleh-oleh dan makanan khas Yogya. Wahh.. ternyata jalan-jalan di Yogya naik becak tidak kalah menyenangkan dengan berenang di hotel. Saking senangnya, Shasa bahkan minta ‘tambahan waktu’ jalan-jalan naik becak.
Ketika akhirnya becak tiba kembali di hotel, sempat-sempatnya Shasa minta difoto sambil berpose di samping becak.
Pinten, Pak?” tanya mama kepada tukang becak.
Terserah Panjenengan,” jawab tukang becak.
Lohh... kok terserah kula? kula mboten ngertos ongkose, Pak!” kata mama.
Pinten mawon... terserah...,” tukang becak itu menjawab sambil tersenyum.
Shasa terbengong-bengong mendengar percakapan itu. Walaupun tidak mengerti bahasa Jawa tapi Shasa bisa mengira-ngira isi percakapan itu menanyakan berapa ongkos yang harus dibayar. Akhirnya mama mengeluarkan sejumlah uang. Sambil membungkukkan tubuhnya pengemudi becak menerima uang yang disodorkan mama dan mengucapkan terima kasih.
“Gimana, asyik kan keliling kota naik kereta tak berkuda?” tanya mama.
Shasa menganggukkan kepalanya. “Asyik dan ada bonus kejutannya,” kata Shasa sambil tersenyum lebar.
“Kejutan apa?” tanya mama heran.
“Shasa baru tahu kalau mama ternyata bisa bahasa Jawa padahal mama kan bukan orang Jawa. Belajar dari siapa sih, Ma?”
“Aaa.. da aja,” jawab mama sambil tersenyum. “Rahasia dong…”