KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah
itu semi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku
yang menimbun bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi
lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong
persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik salah seorang famili
ibu.
Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli.
Ia memaksa diri mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat
untuk punya rumah. Itu dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada
di atas kepala. Aku, yang waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut
membantu ibu. Biasanya aku mengangkut tanah dengan pengki dan membawa
tertatih-tatih. Kalau sudah siang, ibu berhenti dan pulang untuk
memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang aku bersiap- siap untuk
mengaji di meunasah.
AYAH dan ibu membangun rumah itu
boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang pegawai kecil di sebuah
sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga dengan menanam
sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang cukup
luas.
Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut
serta bertani dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.
Jadi
praktis tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa
puluh gram emas yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan
meminjam kiri-kanan, termasuk dari atasan ayah di kantor. Tak ada
bantuan dari siapa pun kecuali sebuah dorongan agar kami punya rumah.
Sebelumnya
kami memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang tua
ibuku. Itu sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap
dipersoalkan oleh saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun
sebetulnya mereka sudah mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah
orang tak puas: selalu saja lebih indah hal-hal yang belum mereka
miliki. Ayah tidak mau repot-repot dengan itu.
Maka ketika ada
orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun gembira sekali
ketika itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir jalan
kabupaten yang berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu
menghubungkan Kecamatan Trienggadeng dan Meureudu, yang berjarak sekitar
tujuh atau delapan kilometer itu. Aku suka menempuhnya dengan bersepeda
bersama kawan-kawan sebaya.
Di samping jalan itu, membentang rel
kereta api, menjulur dari Sigli entah sampai di mana. Mungkin sampai
Aceh Utara dan Aceh Timur. Mungkin pula sampai Sumatra Utara. Aku memang
tidak terlalu mengusut soal itu. Apalagi aku tidak pernah naik kereta
yang melintas di rel itu. Hanya pernah melihatnya ketika aku kecil.
Ketika aku mulai sekolah kereta api sudah tak ada. Tidak jalan lagi.
Entah mengapa. Padahal, ketika tahu ayah membeli tanah dan akan membikin
rumah di Jalan Baroh -orang kampungku menyebut begitu- aku senangnya
bukan main. Aku membayangkan sesekali bisa naik kereta api.
AKU
pernah bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk
menimbun rumah? Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat
agar bisa punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah
sendiri, rumah yang kita bangun dengan keringat sendiri," kata ibu.
Ibu
juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah.
Menurut ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu
justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan
ayahmu terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang,"
ujarnya. "Mengapa tidak diupahin saja sama orang untuk menimbun?"
Pertanyaanku
dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama orang, kita
tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah. Padahal
itu penting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga bisa
merawatnya dengan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."
Ah
ibu, sungguh aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak
hendak bertanya lebih lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa
mereka -ayah dan ibu- bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di
tanah sendiri. Lalu aku pun ikut membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja.
Bantu ibu," katanya kemudian. Aku mencangkul bongkahan-bongkahan tanah
dan memasukkan ke kain tua ibu yang digelar di tanah. Selanjutnya, ibu
berjalan tertatih-tatih dengan perutnya makin buncit membawa beban tanah
untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku ingin libur sekolah beberapa hari
agar bisa menemani sekaligus membantu ibu. Tetapi ibu melarangku.
Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah.
Lalu
rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat
jelek. Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding,
dan berpintu. Tapi atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana
rumah-rumah lain yang beratap seng. Lantainya bukan tegel atau keramik,
tetapi cuma beton yang dipernis dengan air semen.
Terus
dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama
sekali. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari
langsung menusuk ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan.
Hanya pintunya yang bagus. "Mengapa rumah kita tidak sebagus
rumah-rumah di dekat pasar?"
"Rumah kita terbuat dari keringat.
Tidak sama dengan rumah-rumah dekat pasar, milik toke-toke dan pejabat
kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar saja, kalau waktu milik kita,
Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi seperti rumah-rumah dekat
pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami menjadi bagus. Satu per
satu didandani. Atapnya dicat merah saga.
Diplester. Mula-mula
bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus merembet sampai
kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu dilakukan
masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi
loteng atau plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar
makan, terus kamar ayah, terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku.
Tidurku pun menjadi tidak panas lagi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan
satu per satu dengan jeda cukup lama, sampai ayah berhasil mengumpulkan
butiran-butiran waktu secukupnya.
RUMAH kami dekat pantai.
Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara debur ombak.
Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar.
Kadang bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang
dongeng-dongeng. Aku mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa
tidur malam.
Kata kakek, rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai
di belakang rumahku, ada sebuah jembatan menghubungkan kampung kami
dengan Malaysia. Jembatan itu terbuat dari bambu. Karena itu, banyak
orang kampung merantau ke Malaysia, tinggal dan beranak-pinak di sana.
"Mengapa jembatan itu sudah tidak ada? Aku ingin sekali main sore-sore
Malaysia," tanyaku suatu kali. Kakek segera menyela. "Jembatan itu masih
ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh anak kecil. Makanya kamu cepat-
cepat besar kalau ingin main soresore ke Malaysia. Kamu bisa bersepeda
ke sana," ujarnya. "Mengapa jembatan bambu bisa untuk bersepeda?"
"Itulah
hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita berjalan di
atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada beberapa
mobil yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak mengerti.
Kakek
tersenyum sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu
dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun
lalu. Mereka membuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar.
Mereka menumpahkan seluruh cinta untuknya.
Mereka tidak dibayar.
Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari harta Tuhan. Kalau
siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka memancing atau
menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk membeli
ikan-ikan hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?" "Ya, termasuk
kakek."
Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma
menjual ikan di pasar. Juga berjualan sampai ke kecamatan lain dengan
mengayuh sepeda kumbang. Sering sekali kakek pulang larut malam.
Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada lampunya itu. Kalau bulan
tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk penerang jalan. Kadang
kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik -panggilanku untuk
nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam dan dijemur
untuk dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya ikanikan
itu tidak keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku
kerap bertanya: "Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau
malam banyak hantu."
Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar
mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak mengerti. Lalu ia menukas:
"Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman saja." "Benarkah?" Kakek
mengangguk.
Sejak situasi di Aceh makin tidak
menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal di Jakarta. Kebetulan aku
sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini. Bukan hanya ayah
dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar Aceh, juga
ikut mengungsi.
Ingin menentramkan diri, katanya. Pemuda juga
begitu, mereka banyak yang pergi merantau. Ada yang ke Medan, Batam,
Jakarta, sampai Malaysia. Tetapi, sejak tinggal di kota ini, ayah kerap
termenung. Pikirannya selalu tertuju pada rumah. Tak jarang ia
marahmarah sendiri dan mengatakan ingin pulang saja ke kampung. Sering
pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus mendorong agar mereka segera
meninggalkan kampung karena tidak sanggup lagi menghadapi berbagai
kejadian yang malang-melintang di depan mata.
Kalau sedang
berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup tenang
jauh dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan i kampung
sendiri- ayah selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita,
di mana saja bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah
begitu, ibu tidak akan melayani, dan pergi ke belakang dan menangis,
karena merasa terus dipersalahkan oleh ayah. Waktu-waktu yang paling
sering terjadi keributan antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa
kontrak rumah. Karena pada masa itu ayah harus mengeluarkan uang dalam
jumlah banyak untuk membayar biaya kontrak selanjutnya. Meski punya uang
pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri golongan IIID- sekitar Rp 1 juta
rupiah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap akan membayar biaya
kontrakan.
Bisa dipahami memang, agak berat hidup di kota ini
dengan gaji satu juta rupiah sebulan. Tetapi kalau dipikirpikir, masih
beruntung ayah mempunyai pendapatan. Itu ditambah lagi dengan usaha ibu
sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di warung dekat tempat tinggal.
Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk belanja ikan dan sayur
setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu dianggap telah
mengambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena itu, ayah
merasa selalu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan
biaya hidup. "Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan
terlantar," kata ayah selalu. Maksud ayah, membayar sekian juta rupiah
untuk biaya kontrakan dianggap memperbaiki rumah orang. Kalau itu
digunakan untuk merawat rumah sendiri, betapa sudah bagusnya rumah itu.
Bukan hanya ibu, aku sendiri kadang juga kena semprot dari ayah. Aku
dianggap yang memprovokasi ibu agar hijrah dari kampung dulu. Aku memang
beberapa kali mengirim surat kepada ibu agar mempertimbangkan -aku
tidak menyuruh- untuk tinggal di Jakarta saja. Mulanya ibu agak ragu.
Tetapi setelah mengetahui sebagian orang Aceh, yang punya sanak-famili
di luar daerah, meninggalkan kampung, ibu jadi terpengaruh juga.
Jadilah
ibu kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda
motor kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual
televisi, kulkas, dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga
"butuh uang". Kecuali rumah, ayah bersikeras tidak mau menjualnya.
"Kalau kita jual, nanti saat Aceh aman dan kita pulang kampung, kita
akan tinggal di mana?" tanya ayah. Ibu memang tidak menyuruh agar ayah
menjual rumah, karena ibu juga berharap suatu saat bisa kembali pulang
kampung dan menghabiskan masa tuanya di sana. Akulah yang menyurati agar
ayah dan ibu menjual rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk
hijrah. Aku berpikir praktis saja, daripada rusak, mendingan diuangkan
saja. Lagi pula, buat apa lagi ayah dan ibu pulang ke kampung, semua
anakanaknya -aku dan seorang adikku- sudah tinggal dan bekerja di
Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Jakarta, bisa dekat dengan kami,
juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa juga.
Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.
"Apakah
kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung," tanya ayah
suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat
mata ayah basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang
mulai keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau
teringat rumah, ayah hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu
merah.
Aku duduk di samping ayah, memandang butiran-butiran hujan
yang mulai turun, di tempat tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah
sederhana yang dikontrak seharga lima juta rupiah setahun itu. Aku
betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya, juga suasana hatinya
yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi sebenarnya.
Tetapi
aku hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku
tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa
membayangkan dari jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan
beratap merah saga. Sepi dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?"
tanyaku kemudian setelah lama terdiam. "Tidak," katanya sambil terisak,
lalu mengusap air mata dengan ujung jarinya.
"Itulah masalahnya.
Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi malam ayah
bermimpi rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu datang
untuk mengambil papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata ayah
sangat pelan dengan isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi. Pada
kenyataannya kan tidak."
"Mimpi itu ayah yakin sekali benar. Dan
arti mimpi itu bisa banyak. Bisa saja rumah itu digunakan oleh orang
lain untuk hal-hal yang tidak kita inginkan. Atau paling tidak rumah itu
sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu- kayunya mulai lapuk dan catnya
sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa susahnya kita untuk punya
rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk membangunnya."
Sekali
lagi aku menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita
kirim surat kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?" "Tidak.
Ayah terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah. Kasihan
kalau rumah itu jadi rusak," suara ayah.
"Tetapi di kampung belum
aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar tenteram," aku
memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya dengan suara serak.
Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku menggigit
bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa pensiun
begini ayah jalani bersama ibumu di kampung sambil merawat rumah," tutur
ayah dengan wajah yang makin basah.
Selamat Siang Semuanya!!!
BalasHapusNama saya Mr Rashid Husaen dan saya dari Jawa Barat, indonesia dan saya berbicara sebagai salah satu orang paling bahagia di dunia hari ini dan saya berkata pada diri sendiri bahwa pemberi pinjaman menyelamatkan keluarga saya dari situasi buruk kami, saya akan memberitahu namanya kepada dunia dan saya sangat senang untuk mengatakan bahwa keluarga saya kembali selamanya karena saya membutuhkan pinjaman sebesar Rp300.000.000,00 untuk memulai hidup saya sejak saya adalah seorang ayah tunggal dengan 5 anak dan dunia sepertinya mengandalkan saya ketika saya mencoba untuk mendapatkan pinjaman Dari bank dan bank online menolak pinjaman saya, mereka mengatakan bahwa pendapatan saya rendah dan saya tidak memiliki jaminan untuk pinjaman jadi saya online dan segalanya menjadi lebih sulit karena mereka merobek uang saya dari saya dengan janji manis untuk membantu saya
Sampai saya melihat postingan ibu nyonya maria dari sebuah blog dan saya memohon padanya, dia memberi saya semua syarat dan ketentuan dan saya setuju dan dia mengejutkan saya dengan pinjaman yang mengubah hidup saya dan keluarga saya, dan pada awalnya saya berpikir ini tidak mungkin karena pengalaman masa lalu saya dan janji-janji palsu tetapi yang mengejutkan saya, saya menerima pinjaman saya sebesar Rp300.000.000,00 dan saya akan menyarankan siapa pun yang benar-benar membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Nyonya Maria Alexander wanita kata-katanya, melalui email : ( mariaalexander818@gmail.com ) karena mereka adalah pemberi pinjaman yang paling pengertian dan baik hati. siapa saja yang ingin pinjaman atau cara mendapatkan pinjaman asli, harus menghubunginya Via
email: ( mariaalexander818@gmail.com )
whatsapp: (+1 254-276-8402 )
Anda dapat menghubungi saya Pak Rashid untuk informasi lebih lanjut (rashidhusaen18@gmail.com)
Allah Maha Besar
Terima kasih semuanya
CERITA HIDUPKU
BalasHapusAda begitu banyak kegembiraan dalam keluarga saya sejak saya mendapat pinjaman dari IBU MARIA ALEXANDER dan hidup saya menjadi lebih baik. Saya telah menjadi ayah yang diberkati untuk keluarga saya dan istri saya tercinta, anak-anak saya merasa sehat dan bisnis saya berkembang pesat seperti yang direncanakan dan istri saya memiliki pabrik Padi sendiri dengan karyawan
Semuanya dimulai ketika istri saya kehilangan pekerjaannya selama fase pertama pandemi Virus Corona sehingga kami semua bergantung pada bisnis saya untuk bertahan hidup tetapi dalam waktu singkat bisnis tersebut gulung tikar karena saya dan anak-anak saya makan dari bisnis dan sebagian besar dari saya kebaikan diperoleh. manja selama penguncian jadi saya tersesat yang menyebabkan banyak kelaparan bagi saya dan keluarga saya
Kami kelaparan dan kami harus pindah kembali ke desa sehingga kami bisa bertani dan mencari nafkah untuk anak-anak tetapi bertani tidak sesulit yang kami inginkan karena kami hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang pertanian dan tidak ada uang untuk membeli bahan kimia untuk pengendalian hama. tanaman kami mati dan kami menjadi lelah selama bertahun-tahun sampai saya membaca kesaksian seorang wanita bernama KABU LAYU dan PRIA lainnya bernama RASHID HUSAEN yang mendapat pinjaman dari PERUSAHAAN PINJAMAN MARIA ALEXANDER
INFORMASI KONTAK PERUSAHAAN
Jumlah Pinjaman ::: Rp1000,000.000,00
Alamat Email Perusahaan ::: mariaalexander818@gmail.com
Nama Perusahaan :: MARIA ALEXANDER LOAN COMPANY
Perusahaan WHATSAPP: (+1 254-276-8402 )
Nama Saya ::::: YUDA BUDIWATI
Email Saya :::: yudabudiwati@gmail.com
negara Indonesia
Jadi saya mengajukan pinjaman dan istri saya menolak pinjaman online karena dia memiliki pengalaman tentang pinjaman online tetapi bagi saya ini adalah pertama kalinya saya mendapatkan pinjaman online jadi saya menghubungi PERUSAHAAN PINJAMAN MARIA ALEXANDER dan melalui proses mereka termasuk kredensial saya sehingga mereka memberi tahu saya menunggu persetujuan pinjaman bahwa jika aplikasi pinjaman saya telah diperbarui dan disetujui mereka akan kembali kepada saya yang mereka lakukan, demi kemuliaan ALLAH saya diberi pinjaman
Saya sangat senang dan saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada PERUSAHAAN PINJAMAN MARIA ALEXANDER
DOAKU DIJAWAB, SEMOGA ALLAH MEMBERKATI IBU MARIA ALEXANDER YANG MENGUBAH HIDUPKU DAN KEHIDUPAN SELURUH KELUARGAKU HARI INI