Sontak Mak berdiri di pintu kamar tidur. Mengenakan kain hitam, kebaya
hitam, selendang hitam, sanggul besar hitam, dan di lengannya
menggantung tas kulit hitam. Di leher Mak juga melingkar kalung warna
hitam, lengkap dengan manik-manik hitamnya.
Mak tersentak ketika mata kami saling bertemu. Matanya membeliak.
Dengan wajah gusar Mak perlahan-lahan mundur. Dan, sebelum aku
benar-benar mempercayai penglihatanku atas Mak, Mak sudah menjelma
menjadi laron. Kukejar Mak ke ruang tamu, serta merta Mak masuk ke dalam
cahaya lampu neon. Bagai asap rokok, Mak dihisap neon 9 watt di ruang
tamu.
Aku tertegun. Aku berada dalam keraguan dengan penglihatanku. Mak
demikian jelas dan kasat mata dalam penampakannya, jauh dari yang
kuharap semula.
"Mak…Mak…!" seruku dalam hati sambil menengadah memandangi neon.
Di jalan depan rumah, di bawah tenda terpal yang dibentangkan
seadanya, masih kudengar cakap-cakap orang melekan. Bapak, kakak dan
kakak iparku menemani mereka. Mereka ngobrol sambil menghisap rokok.
Berteman kopi dan gorengan.
Aku tidak sedang tidur ketika Mak menampakkan diri tadi. Aku masih
dalam kondisi sadar. Pukul 12.15 aku masih melekan, pamit kencing (di
samping bosan karena orang-orang yang melekan sedari tadi bertanya terus
soal politik kepadaku), lalu tidur-tiduran di amben Mak. Sambil
berbaringan, sebagaimana dilakukan banyak saudaraku, kutunggu kedatangan
Mak.
Ya, pada malam ke-40 ini Mak sewaktu-waktu muncul untuk "pamit"
kepada kami --suami, anak dan kerabat yang masih hidup di dunia. Kami
yakin bahwa pada malam ke-40 ini arwah Mak akan menampakkan diri
sekilas-kilas, baik melalui mimpi maupun tidak.
Selama 40 hari dari kematiannya, demikian wejangan Modin Juhari
menjelang pemberangkatan jenazah Mak ke kuburan, arwah Mak masih bersama
kami, tinggal di dalam rumah, berkunjung ke rumah anak-anak dan
beranjangsana ke sanak famili.
"Seperti sebelum kematiannya, Ibu Rukayah juga duduk-duduk di kursi,
tidur-tiduran di amben, jalan-jalan di rumah. Melihat anak dan
cucu-cucunya. Ibu Rukayah sedih melihat kita semua. Ibu Rukayah dapat
melihat kita, tapi kita tak bisa melihat Ibu Rukayah. Baru setelah malam
ke-40 arwah almarhumah meninggalkan kita semua menuju alam baka," kata
Modin Juhari.
Aku kembali beringsut ke kamar Mak. Berbaringan di amben. Mataku
menerawang jauh ke langit-langit. Ya, mengapa Mak demikian jelas
menampakkan diri? Dan, ah, pasti ini ada hubungannya dengan kemarahan
Mak kepadaku, lantaran aku baru datang menjenguknya setelah Mak enam
hari menjadi kembang amben.
"Mengapa kamu baru datang sekarang? Apa nggak ada yang ngabari kamu?
Apa kamu sudah nggak mau lagi Makmu? Apa kamu sudah jijik melihat Mak?
Kamu malu melihat Mak, karena kamu sudah menjadi pejabat, sering muncul
di koran-koran," kata Mak dengan suara lemah.
Dada Mak tipis. Payudara yang dulu untuk menyusui kelima anaknya itu
hilang disedot waktu. Tubuhnya benar-benar kurus. Juga kakinya
menyerupai selonjor pipa 24 dim. Oh, pangkal lengannya… pangkal lengan
Mak yang empuk, hangat dan harum, yang semasa aku kecil sering
kucium-cium sampai aku tertidur itu kini sangat kisut.
Tubuh Mak cepat sekali memuai.
Mak terus-menerus diam. Matanya berkedip-kedip memandangi
langit-langit. Nafasnya berat. Jari telunjuknya menggarit tutup bedak
talek.
Sungguh. Aku menyesal karena tidak berada di samping Mak saat
detik-detik ajalnya. Seharusnya aku ke rumah sakit ketika kali pertama
kakakku mengabarkan lewat HP bahwa pukul 18.30 Mak kritis. Waktu itu aku
bertahan di ruang rapat, merancang kemenangan partai pada pemilu
mendatang.
Aku juga bergeming di ruang rapat meski kakakku meneleponku lagi
untuk kedua kalinya, dua jam kemudian. Lagi-lagi kakak mengabarkan
kondisi Mak. "Jangan kau matikan HP-mu. Kalau ada apa-apa biar cepat
mengabarinya," kata kakak.
"Baik," ujarku sambil mengedarkan pandang ke peserta rapat.
Dalam hati sebenarnya aku ingin berkata pada fungsionaris partai
yang ikut rapat malam itu: lihatlah aku, meski ibu kandungku sakit parah
pun aku masih mementingkan partai. Partai adalah segala-galanya. Hidup
partai!
Saudara-saudaraku mendukung keterlibatanku di partai. Itulah
sebabnya mereka memahami kalau aku tidak sempat ke rumah sakit, meski
Mak kritis. Bagi keluarga, aku adalah pahlawan yang mengangkat derajat
mereka. Politik telah memberi kehormatan pada keluarga kami.
(Lihat saja, beratus-ratus orang mengantarkan jenazah Mak ke
kuburan, dan setelah itu seolah tiada habis-habisnya orang bertaziah ke
rumah kami. Oh ya, di antara tamu itu terdapat dr Kaslan. Dia adalah
dokter spesialis mata yang mendaftar menjadi Dewan Perwakilan Daerah
dari provinsi kami, yang kemudian diketahui oleh tim verifikasi bahwa 13
dari 7.600 fotokopi KTP bukti dukungannya ternyata KTP orang gila).
Siapa yang tak mengenal aku, ketua Komisi D DPRD Kota A? Statemenku
sering dikutip koran. Wajahku kerap muncul di TV lokal. Ketika DPRD
berseteru dengan Hotel B lantaran perluasan gedungnya memakan sepadan
jalan, sebagai ketua Komisi D aku nyaris menjadi pahlawan. Perintahku
singkat saja pada pengelola Hotel B, "Bongkar. Titik!" Padahal
pembangunan gedung sudah berlangsung 40 persen.
Seharusnya seperti itulah; kapan harus galak, tapi kapan pula harus
lembek dan kompromis dengan pelanggar.
Ya, berkat politik semua biaya pengobatan Mak terlunasi. Dan benar,
politik telah memberiku segala-galanya. Bukan hanya kehormatan dan harga
diri, tapi juga materi. Siapa aku sebelum menjadi anggota DPRD?
Hanyalah montir lepas di sebuah toko suku cadang motor. Lalu ikutan
yel-yel dalam kampanye pemilu, blayer-blayer motor, arak-arakan sambil
mengikat kepala dengan kain, ikut rapat, sampai akhirnya menjadi
pengurus ranting. Dikejar-kejar rezim Orba, ditangkap, diinterogasi,
ditahan, dilepas, dikejar-kejar, dijebak, digebuki, dilepas lagi,
dikejar-kejar, dst.
Nasib baik terus berpihak kepadaku. Sampai akhirnya, ketika Orde
Baru tumbang, aku naik menjadi pengurus cabang. Namaku masuk nomor jadi
caleg untuk kotaku. Pemilu tahun 1999 partaiku menang, dan nasibku
berubah 180 derajat.
Menjelang pemilu, dalam konfercab aku terpilih sebagai ketua cabang.
Aku harus mati-matian berjuang agar dalam pemilu mendatang partaiku
meraih suara terbanyak lagi. Sejengkal lagi, sejengkal lagi… ah, apa
salahnya bekas montir yang bajunya berlepotan gemuk dan oli menjadi wali
kota? Aku percaya bahwa nasib baik akan selalu berpihak kepadaku.
Kadang, bila membayangkan kelak aku menjadi wali kota, aku geli
sendiri. Betapa tidak, pria seperti aku, dengan sisiran belahan tengah,
menjadi wali kota. Ke mana-mana naik Volvo, dikawal ajudan. Aku
berkantor di ruang kerja yang luas, dengan tamu yang tiada hentinya
menunggu. Aku selevel dengan Kapolwil dan Danrem. Di mana-mana aku
disambut secara terhormat. Aku berpidato, bertandatangan di muka umum,
dan berkalung bunga.
Ribuan pegawai pemerintahan, mulai dari sekkota hingga hansip di pos
parkir, manut pada perintahku --sudah pasti, dulunya di antara mereka
pernah menggunakan jasaku sebagai montir. Aku pun tinggal di rumah dinas
dengan penjagaan hansip. Sebagai wali kota tentunya banyak yang kuurus,
mulai soal pemerintahan, kebersihan, pedagang kaki lima sampai sepak
bola.
Kadang-kadang aku bercermin: pantaskah aku jadi wali kota? Pantas,
jawabku. Politik adalah alat untuk meraih kekuasaan. Kalau partaiku
memang menang dalam pemilu, disusul pemilihan wali kota yang bersih dari
permainan uang, apa salahnya kalau kemudian aku menjadi wali kota? Jika
semasa Orba, tentara (termasuk dokter tentara) selalu menjadi wali kota
di Kota A, apakah di zaman reformasi ini seorang montir tidak boleh
menjadi wali kota?
Bisakah aku menjadi wali kota? Semua mesti melalui proses belajar.
Megawati juga belajar jadi presiden. Amien Rais juga masih belajar
menjadi ketua MPR. Bahkan Soekarno, Hatta dan Sutan Sjahrir dulu juga
belajar menjadi presiden, wakil presiden dan perdana menteri walau
mereka sudah resmi menjadi presiden, wakil presiden dan perdana menteri.
Di negeri ini tak ada sekolah yang khusus menyiapkan seseorang menjadi
presiden, wapres, perdana menteri, ketua MPR, ketua DPR, atau wali kota
sekalipun.
Ah, keluargaku pasti bangga jika kelak aku menjadi wali kota. Tapi,
kenapa Mak mesti meninggal dulu sebelum melihat anaknya menjadi "orang
besar"?!
Jam menunjukkan pukul 00.15 ketika kakak sulungku meneleponku lagi.
Waktu itu aku baru saja menutup rapat yang penuh perdebatan sengit. "Mak
meninggal! Tidak usah ke rumah sakit karena jenazahnya langsung dibawa
pulang," katanya.
Deg. Darahku serasa berhenti mengalir. Terngiang kembali permintaan
Mak bahwa dia ingin ditunggui anak-anaknya di akhir hidupnya. Seperti
apa perasaan Mak, ternyata di antara anak-anaknya yang menunggui itu tak
ada aku di sana?
Malam sudah pukul 01.30. Cakap-cakap orang melekan. Sesekali
terdengar tawa lemah, tapi kemudian cakap-cakap lagi dalam intonasi
datar. Aku sengaja tidak tidur. Kutunggu penampakan Mak lagi, bahkan
sampai fajar datang sekalipun. Kukenang-kenangkan masa kecilku bersama
Mak. Tapi sialnya, kenangan indah itu selalu beraduk-aduk dengan
bentak-bentak, gebrak-gebrak meja dan teriak-teriak di ruang rapat
partai. Seperti gambar yang silih berganti merebut imajinasi.
Dan, tiba-tiba saja Mak muncul lagi di ambang pintu kamar tidur. Mak
mengenakan kain hitam, kebaya hitam, selendang hitam, sanggulnya besar,
dan di lengannya menggantung tas kulit hitam. Di leher Mak juga
melingkar kalung warna hitam, lengkap dengan manik-manik hitamnya.
Setelah mata kami saling bersitatap, sontak Mak menjelma menjadi seekor
laron. Mak berterbangan di dalam kamar, sesekali Mak menabrak-nabrak
lampu neon hingga menimbulkan bunyi berdetik.
Aku serasa tidak percaya dengan penglihatanku. Ya, untuk kedua
kalinya Mak menampakkan diri secara kasat mata. Anehnya, mengapa Mak
mesti menjelma seekor laron segala?
Tetap saja Mak berterbangan dengan liar di dalam kamar.
Berputar-putar, sayapnya mengepak ribut. Dan, mendadak Mak berhenti
berkepak, mengapung di udara, tepat di atas tubuhku. Lalu, tanpa
kusangka-sangka, wajah Mak menjelma utuh dan sayap-sayapnya berubah
menjadi kedua tangan yang melambai-lambai kepadaku. Mak tersenyum hangat
seraya memanggil-manggil namaku!
Entah mengapa kedua tanganku pun tiba-tiba berubah menjadi sayap.
Lalu, dengan sayap itu, perlahan-lahan tubuhku mengapung ringan. Kedua
tanganku akhirnya mengepak (siapa yang mengajari kami berkepak-kepak
seperti ini?) Mula-mula kukepakkan sayapku dengan perlahan-lahan, tapi
kian lama kian cepat, sampai aku tak bisa membedakan apakah aku sedang
berkepak atau tidak, sedang mengapung di udara atau berpijak di bumi.
Kepakan ini menimbulkan desauan dan desiran angin di telingaku.
Aku dan Mak terbang beriringan, berkitar-kitar di seputaran lampu
neon dan sesekali menubruknya hingga menimbulkan bunyi berdetik.
Mengapung di kamar yang penuh sinar lampu neon, kamar yang
sudut-sudutnya menumpuk berkarung-karung beras, mie dan gula. Kemudian
Mak mengajakku masuk ke dalam neon. Mak membiarkan saja tubuhnya dihisap
lampu neon.
"Tidak, Mak. Tidak! Aku tak ingin ikut Sampean. Aku masih ingin jadi
wali kota!" seruku sambil meronta.
Oh, ternyata aku sedang bermimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar